15

7.9K 553 1
                                    

Suara kertas dibalik itu terdengar berkali-kali, tampak dua orang lelaki yang nampak sudah berkepala 3 itu benar-benar sibuk menatap kata per kata kalimat per kalimat yang tertera di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara kertas dibalik itu terdengar berkali-kali, tampak dua orang lelaki yang nampak sudah berkepala 3 itu benar-benar sibuk menatap kata per kata kalimat per kalimat yang tertera di sana.

"Bukankah ini hari libur? Tidak puas kah dirimu jika sehari saja tidak memenuhi hariku dengan pekerjaan Arsen? Apakah seharusnya aku mengundurkan diri saja?"

"Aku pikir, aku bisa makan enak di sini. Tapi, kenapa aku malah jadi budak kapitalisme. Lihat saja kalau sampai gajiku tidak dinaikkan."

"..."

Nicolas masih terus mengoceh tanpa henti, Kata-kata yang keluar dari bibirnya hanya seperti angin lalu bagi Arsenio.

Lelaki tampan yang tengah mengenakan kacamata itu malah tetap sibuk membalik kertas dokumen yang ada ditangannya.

"Bibi! Lihatlah putra kesayanganmu, dia begitu jahat, dengan teganya tidak memberikan aku makan. Aku sudah pantas jika dibilang seperti budak!"

"Hei, Nicol. Kamu sudah bukan remaja lagi, kenapa tingkahmu masih tidak berubah?"

Pandangan Nicolas teralih kala terdengar suara beradunya sepatu hak tinggi yang disertai dengan munculnya suara yang juga menanggapi ocehannya.

Bagaimana bisa Nicolas lupa dengan wanita itu, satu-satunya putri tuan Narendra Pradana, Satu-satunya Kakak perempuan yang dimiliki Arsenio.

"Mau bagaimana lagi, adikmu benar-benar membuatku ingin sekali memarahinya habis-habisan. Tidak bisakah aku pindah ke perusahaan suamimu saja?"

"Hehehe... Tentu, tentu kamu bisa datang kapanpun, tapi apakah kamu yakin akan selamat saat melewati pintu keluar kantormu?"

Nicolas langsung tertunduk lesu, saat kalimat itu selesai diucapkan kakak perempuan Arsenio. Nicolas melirik Arsenio yang bahkan tak terganggu sedikitpun.

Ia hanya bisa menghela nafas menghadapi teman sekaligus bos yang memiliki sifat dingin seperti gunung ribuan tahun.

"Sudahlah Barbara, jangan meladeni mereka berdua. Kamu ini malah mempermainkan Nicol."

Barbara yang ditegur hanya melirik ibunya dengan pasrah, pandangannya mengedar menatap satu persatu orang yang terdapat dalam ruang tamu.

"Eh, di mana adik ipar perempuanku?"

Kegiatan yang dilakukan semua orang di sana seketika terhenti, seolah waktu yang tadinya berputar dengan baik kini terhenti, terhempas, dan rusak.

"Hmmm, aku juga belum melihat Krisan dan istrinya kemana mereka?" Nicolas ikut bertanya sambil mengerutkan alisnya.

"Bukan, bukan istrinya Krisan tapi istri Arsen. Di mana Savera? Apakah kamu kembali tidak mengajaknya?"

Arsenio menatap Barbara dengan sudut mata yang tajam, "Hentikan Kak, untuk apa kamu bertanya tentang wanita itu? Apa kamu merindukannya?"

Tangan Arsenio yang memegang dokumen menjadi semakin erat, kertas ditangannya bahkan sudah hampir lecek jika ia tidak menahan emosinya.

"Ada apa denganmu, apakah hubungan kalian tidak akan pernah membaik? Hei Arsen! Hubungan pernikahan kalian sudah hampir 16 tahun, apakah akan tetap begini-begini saja?"

"Ingat, kita harus tetap menjaga nama baik Pradana. Jika Kakek mengetahui kamu tidak semakin dekat dengannya, apakah menurutmu Kakek tidak akan marah?"

"Tenanglah Barbara, aku bahkan sudah mengetahuinya. Sesuai dengan ucapanmu aku sangat marah sampai ingin mencekiknya."

"Ka-kakek! Sejak kapan Kakek duduk di sana?!" Barbara menoleh dengan terkejut, di kursi yang tak jauh dari dirinya berdiri terlihat Kakeknya yang dengan santainya duduk sambil menyilangkan kaki.

"Aku sudah disini sejak tadi, di mana cicitku yang lain? Kenapa mereka tidak terlihat sama sekali."

"Mereka sedang ada di halaman belakang, Yah. Apakah aku harus memanggil mereka semua?"

"Ti-"

"Tuan besar!"

Disaat lelaki tua itu hampir mengeluarkan suara untuk membalas ucapan istri anak laki-lakinya. Suara tak sopan yang memanggilnya membuatnya berang.

"Ada apa?! Kenapa teriak-teriak!"

"Ma..maaf tuan besar, ta..tapi ini darurat. Nyonya muda kedua..." Lelaki itu mendekat ke arah indra pendengaran lelaki tua itu.

"A-apa?! Bagaimana bisa, pantas saja tadi... Ah sudahlah?!! Cepat siapkan mobil!"

Nicolas, Barbara dan Ibunya hanya saling tatap kala melihat sikap dari Ayah Narendra Pradana. Lelaki tua itu tampak benar-benar pucat bahkan saat ia berdiri ia hampir jatuh jika tidak ditopang oleh asisten di sampingnya.

"Kakek, ada apa dengan Savera? Kenapa Kakek sampai terlihat seperti ini?"

Kring! Kring! Kring!

Suara ponsel Nicol menghancurkan suasana tegang yang sedang ada di sana, getaran di ponselnya membuatnya mau tak mau menjauhkan diri sebentar.

Dengan kesal ia mengangkat ponselnya dan siap menyumpah serapahi sebelum suara panik dari seberang telepon membuatmu bungkam.

"Tu-tuan! Nyonya... Orang yang anda suruh kami kawal, beberapa saat yang lalu mengalami kecelakaan hebat!"

"Siapa? Aish, Nyonya siapa? Aku bahkan belum memiliki istri. Apakah aku memerintahkan kalian untuk menjaga istri orang lain? Lawakan macam apa ini."

"Tuan! Tolong berhenti bercanda, ini serius! Mobilnya rusak parah, dan Nyonya Savera baru saja dilarikan ke rumah sakit, kami saja sedang dalam perjalanan mengikutinya."

"Ah Savera..." Nicolas bergumam sambil menganggukkan kepala, "Eh, apa tadi? Savera? Savera kecelakaan?!"

"Apa?!!!"

Teriakan nyaring Barbara dari dalam sampai terdengar Nicolas yang sedang berada diluar, jika apa yang ia pikirkan benar, pasti lelaki tua itu tadi terkejut karena cucu kesayangannya mengalami kecelakaan hebat.

"Baik kirimkan aku alamatnya," Nicolas segera menutup ponselnya dan kembali dimana tempat awal ia berada.

Tuan besar sudah tak terlihat lagi ada di mana, sedangkan Barbara memegang dahinya tak percaya.

Nicolas mengalihkan pandangannya menatap teman serta bosnya yang kini tampak tidak peduli sama sekali.

"Hei, Arsen! Wanitamu sedang kecelakaan dan kritis kenapa kamu malah tenang-tenang saja?!"

"Tidak perlu ikut campur, ia mati atau hidup aku sama sekali tidak peduli pada dirinya."

Nicolas hanya mengerutkan bibirnya, ia tak bisa membalas perkataan Arsenio yang tak berperasaan sedikitpun. Bagaimana bisa lelaki macam dia masih dibiarkan hidup di dunia ini?

Ia masih tak habis pikir, walaupun mereka pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu bukankah seharusnya Arsenio harus peduli pada istrinya? Ibu dari anaknya?

"Ayo, cepat! Kalian mau ikut ke rumah sakit atau tidak?!" Barbara berucap dengan nyaring kala melihat Arsenio yang malah masih sibuk dengan pekerjaannya.

Jika ia yang memiliki suami seperti Arsen, ia pasti tidak akan tahan. Saat awal menikah ia pasti sudah akan meminta berpisah dari lelaki dingin seperti es itu.

Ia kembali bertanya-tanya, hal apa yang membuat pernikahan mereka tetap utuh, walaupun sudah banyak rumor yang beredar tentang mereka yang bahkan tidak pernah saling sapa.

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang