10

9.4K 574 0
                                    

"Galang, bukankah 'dia' sedikit aneh?" Dien memandang temannya yang kini berdiri di dekat jendela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Galang, bukankah 'dia' sedikit aneh?" Dien memandang temannya yang kini berdiri di dekat jendela.

Dien sendiri sedang tiduran di ranjang bersama Damian, sedangkan Raven, ia sedang bermain game dengan Arya, remaja laki-laki yang waktu itu dia sikut tangannya waktu di klinik.

Lelaki berkacamata itu diam, menatap taman yang sedang bermekaran bunga mawar merah. Ia mendengar dengan jelas pernyataan Dien barusan, tapi ia sama sekali tak berniat menanggapi.

Damian menyangga kepalanya dengan tangan, ia mengangkat alisnya pada Dien, "Apa yang aneh? Dia tetap seperti terakhir kali bertemu."

"Ah, lo ngga tahu apa-apa, Dam." Dien mengangkat bahu dan berjalan ke arah rak buku.

Raven yang sedang sibuk menggerakkan stik game juga mengerutkan kening, "Sebenarnya ini rumah lo atau rumah wanita tadi? Lo pada kayanya ngga akrab."

"Rumah gue.. dan juga rumahnya." Ucap Galang dengan suara pelan.

"Jadi dia keluarga lo? Kakak lo?" Damian bertanya antusias.

Arya yang mendengar pertanyaan Damian seketika terkekeh, bibirnya bergerak-gerak membuat Raven yang melihat partner gamenya seperti itu merasa aneh.

"Lo ngetawain apa?"

"Tidak, tidak ada. Lanjutkan permainannya." Ucap Arya sambil tetap tersenyum.

"Ah pantesan, dia kakak lo, udah pasti bakal nolong lo waktu itu dari kami." Damian berkata sambil menganggukkan kepala.

Akan aneh jika orang tidak dikenal berani melawan anak seorang polisi apalagi dirinya yang meruapakan putra pejabat penting, semalam saja sudah banyak yang mengerumuni dan melihat tingkahnya, Raven dan teman-temannya yang lain ketika menghajar 3 remaja itu.

Tapi, tidak ada seorangpun yang membantu. Sebelumnya dia dan Raven bingung, kenapa ada wanita yang begitu berani melawan anak komisaris polisi, dan ternyata orang itu adalah kakak dari Galang, remaja laki-laki berkacamata bulat yang waktu itu mereka pukul sampai babak belur.

Dan jika dilihat dari kediamannya, mereka sepertinya lebih kaya daripada Raven, tapi dirinya tidak tau apa kedudukan mereka, berpengaruh atau tidak.

Dien melihat teman barunya dengan mata berkedut, ia lalu mengalihkan pandangannya pada Galang yang masih bergeming.

Dien mendekat dan berbisik, "Lo ngga ada niatan buat ngelurusin kesalahpahaman ini?"

"Ngga usah lagian gak ada gunanya." Galang melirik tak acuh pada mereka.

°°°

Savera kini tengah mengacak-acak kamarnya sendiri. Sebelumnya ia ingin makan sambil menonton drama yang telah ia unduh di laptopnya.

Tapi, laptopnya entah hilang kemana. Akhirnya ia menonton drama lain menggunakan iPadnya.

Setelah selesai makan, ia memutuskan untuk mencari dimana keberadaan laptop kesayangannya itu yang ia gunakan selama di rumah.

Tapi setelah mengacak-acak kamarnya hampir 10 menit, ia tidak menemukan laptopnya di sana.

Savera tetap tidak menyerah, ia mencari di setiap laci lemari yang ada di kamarnya. Ia mengerutkan kening, ia merasa tangannya menyentuh sesuatu.

"Buku? Bagaimana bisa ada disini?"

Savera bukanlah orang yang rajin, tapi ia juga bukan orang yang berantakan. Ia selalu meletakkan semua buku miliknya di rak buku di kamarnya atau diruang kerjanya.

"Tapi, buku apa ini?" Savera melihat-lihat buku dengan sampul berwarna hitam, di bagian atas pinggir sebelah kanan ada gambar mahkota emas yang berukuran kecil. Buku itu terikat dan digembok.

Savera mengerutkan kening, buku ini, ia tidak pernah melihatnya. Lebih tepatnya ia lupa, pernah memilikinya atau tidak. Tapi, setelah dilihat-lihat, itu terlihat seperti buku diary. Dan Savera tidak pernah memiliki buku diary.

Savera mengangkat bahu dan meletakkan buku itu di rak kamarnya, lalu mengusap dagunya.

"Selain di kamar, aku meletakkan benda itu dimana?"

"Bodoh, bodoh sekali." Seketika Savera melebarkan matanya, ia memukul kepalanya pelan. "Kenapa aku tidak kepikiran sebelumnya, ada dimana lagi selain diruang kerjaku bodoh!"

Savera berlari keluar kamarnya, ia berpapasan dengan salah satu pelayan yang tatapannya mengikuti Savera yang baru saja melewati pelayan itu.

Savera seketika berhenti, ia berjalan mundur, dan berdeham canggung, "Tolong bereskan kamar saya. Saya ada urusan sebentar." Savera berucap tenang.

Setelah itu ia memperbaiki celana panjang dan baju yang ia kenakan agar tampak rapi, dengan langkah perlahan ia kembali berjalan menuju ruang kerjanya.

"Sialan, memalukan. Dimana etiketmu Vera!" Umpatnya tertahan sambil mengepalkan tangan.

"Hm?" Pelayan itu memiringkan kepalanya, menatap Savera yang berjalan semakin menjauh darinya. "Tumben sekali."

Pelayan itu bergerak ke arah kamar Sabera untuk melaksankan tugas yang baru saja diperintahkan oleh Nyonya nya.

"Hei mau kemana kamu? Apakah kamu tidak tahu, kamar Nyonya terlarang untuk kalian masuki?" Suara seorang pria terdengar dari balik punggung pelayan itu.

"K-kepala pelayan," Ucap pelayan wanita itu sambil menunduk, "Maaf Kepala Pelayan, tapi Nyonya sendiri yang memerintahkan saya untuk membersihkan kamarnya."

"Nyonya Savera yang memerintahkan?" Alex menyipitkan matanya tak percaya, "Apakah kamu salah mendengar? Mungkin yang n
Nyonya maksud itu hal lain."

Pelayan wanita itu menggeleng tegas, tatapan matanya menatap Alex dengan percaya diri, "Tidak, saya yakin kalau Nyonya memerintahkan untuk membereskan kamarnya."

"Baik, lanjutkan tugasmu." Dengan pasrah Alex menganggukkan kepalanya menyetujui.

Raut wajah Alex terlihat tak nyaman, ia sibuk dengan pikirannya sendiri, ia merasa dari kemarin ada yang tidak beres dengan Nyonya nya itu. Tapi, ia masih tidak tahu ada apa sebenarnya dengan sang Nyonya.

Dari kemarin sikap Nyonya mudanya itu begitu berbeda, raut wajahnya yang biasanya dingin dan selalu menatap tajam. Kini berubah, kemarin raut khawatir terlihat diwajahnya, lalu tiba-tiba malam harinya nyonya mudanya itu mengirimkan pesan kepadanya.

Alex hampir terkejut sampai mati saat mengetahui isi pesannya itu. Pesan yang berisikan keberadaan Nyonya-nya dan ia bilang akan pulang larut.

Sungguh demi apapun Alex benar-benar kaget, Nyonya Mudanya tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Alex sendiri bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan otak Nyonya-nya?

Bukan, bukannya ia tak suka dengan perubahan nyonya mudanya, ia sangat senang dengan perubahannya. Tapi, entahlah ia merasa ada yang mengganjal.

"Kepala pelayan tolong kesini."

Panggilan pelayan lain membuatnya tersadar dari lamunannya, "Iya aku kesana." Alex berteriak dan segera menuju sumber suara.

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang