11

9.3K 625 12
                                    

Pintu berwarna cokelat yang berdiri kokoh dan tertutup itu hadir di indra penglihatan Savera. Tangan putih lentik miliknya dengan lembut menggenggam gagang pintu. Savera mendorong pintu itu ke dalam.

Ia melangkah perlahan, pandangannya mengedar ke sekeliling ruangan. Tatapannya jatuh pada meja dan kursi yang terbuat dari kayu itu.

"Tidak ada?"

Savera memiringkan kepalanya, menatap bingung pada meja yang terdapat tumpukan kertas. Tangannya terulur untuk mencari-cari di dalam laci atau di sekitar meja itu.

Di lorong menuju tempat Savera berada, terdapat lelaki yang sedang berjalan dengan tatapan mata masih menuju layar iPadnya.

Tangan kirinya memegang iPad dan tangan kanannya dia masukan ke dalam saku celananya. Lelaki itu mematikan iPadnya, kemudian berjalan dengan tegap ke sebuah ruangan.

Lelaki itu berdiri tepat di depan pintu cokelat, dia menghela nafas, membuka pintu dengan pelan.

Manik mata hitam malam milik lelaki itu membelalak, matanya melotot menatap dengan horor sepasang kaki yang tergeletak tepat di dekat meja.

Lelaki itu mau tak mau mundur selangkah, pupil matanya bergetar. Kakinya hampir lemas dan meluruh ke lantai, untungnya tangannya dengan cepat memegang daun pintu.

Nafas lelaki itu kian lama kian memburu, dia berjalan ke depan mengambil tongkat baseball yang biasanya ada di balik pintu. Dengan tangan yang bergetar dan kaki yang hampir melayang dari tanah, lelaki itu memberanikan diri mendekat.

"Hei!!" Lelaki itu berteriak, tongkat baseballnya dia pukul dengan kuat ke meja kayu itu.

Pemilik sepasang kaki itu terlonjak kaget, kepalanya terbentur bagian dalam meja, kata-kata kasar meluncur dengan sangat lancar melalu bibirnya.

"Ka-kamu! Jadi itu kamu?! Aku kira itu hantu. Lalu sedang apa kamu disini?"

Lelaki itu menatap dengan garang wanita yang berdiri di depannya sambil mengusap ngusap kepalanya. Sedangkan wanita itu melototkan matanya tak kalah garang juga.

"Memang kenapa? Rumah-rumah saya ya terserah saya lah." Savera mendudukkan dirinya di kursi kerjanya, dia menatap dengan tajam wajah tampan lelaki didepannya yang kini menjadi pucat.

"Kenapa, apakah kamu sedang sakit? Wajahmu begitu pucat."

Savera mengerutkan kening, otaknya tiba-tiba memunculkan suatu gagasan yang sangat lucu baginya.

Savera menatap lelaki itu dengan senyum menggoda di bibirnya, dia menaik turunkan alisnya seolah-olah sedang mengejek lelaki itu.

Lelaki itu yang melihat perubahan raut wajah Savera langsung berkeringat di dahinya, "A-apa? Mengapa melihatku seperti itu."

Lelaki itu berdeham, berusaha menetralkan degup jantungnya dan ekspresinya yang berusaha dia kembalikan menjadi sedingin es, sebagaimana biasanya dia berekspresi.

"Ahh... Aku tahu, kamu..." Savera menggantungkan ucapannya, tatapan matanya semakin lama semakin menggoda lelaki itu, ia berniat untuk mengejek lelaki itu sampai dia puas.

"Apa?" Ekspresi di wajah lelaki itu semakin menggelap, terlihat sekali jika dia bisa, dia akan membalas Vera tanpa ampun.

"Ternyata, ck tubuh dan mental anda begitu berbanding terbalik," Savera menatap penuh prihatin ke arah lelaki itu, pandangan matanya berulang kali melihat dari atas ke bawah dan sebaliknya.

"Berhenti menatapku dengan pandangan seperti itu." Lelaki itu merendahkan suaranya, suaranya yang awalnya memang sudah bass menjadi semakin seksi sekaligus menakutkan di telinga Savera.

"Kenapa, apakah kamu malu mengakuinya? Kamu takut kan dengan hantu."

"Tidak, aku tidak takut. Aku hanya terkejut," Lelaki itu mengelak sambil menggelengkan kepalanya, melihat wanita di depannya tetap tidak percaya, lelaki itu berdecak malas dan dengan kesal keluar dari ruangan itu.

"Eh... Apa dia marah?" Savera menyangga dagunya dengan tangan di atas meja, tatapan matanya menyipit ke arah punggung lelaki itu yang sudah menghilang, "Walaupun dia saudara paman Alex, tapi... bukankah terlalu berlebihan jika dia datang ke ruang kerjaku seenaknya?"

°°°

Setelah mencari kesana kemari dan tidak menemukan laptopnya kini Savera berkutat dengan ponselnya yang sedari tadi dia lupakan, beberapa pesan dari Andina mengisi notifikasi yang ada di ponselnya.

Savera menyempatkan waktunya dengan membalas pesan gadis itu satu persatu. Tatapannya juga mengikuti layar yang dia gulir perlahan, setelah melihat tidak ada yang penting Savera meletakkan ponselnya di meja.

Ia menatap sekeliling kamarnya, yang sebelumnya terlihat seperti telah dihantam oleh pusaran badai kini kembali indah seperti semula.

Walaupun Savera berada di kamarnya sendiri, entah mengapa dia merasa asing. Namun, di satu sisi dia juga merasa familiar.

Di sisi lain lelaki yang tadi bertemu dengan Savera di ruang kerja sedang duduk di sofa dengan tangan terlipat dan matanya menatap lurus ke arah televisi.

"Tuan muda ponsel anda berbunyi."

Lelaki itu melirik, tangannya dengan ringan mengambil ponselnya dan berdeham. Pelayan yang baru saja memberikan ponsel langsung undur diri menjauh.

"Ya kakek?"

Lelaki itu menjawab panggilan dengan nada suara acuh tak acuh, matanya masih tetap fokus menatap berita yang disiarkan di televisi.

"Arsenio, besok kamu dan cicitku sudah pasti akan datang bukan?"

"Mmm."

Lelaki tua di seberang telepon hanya bisa menghela nafas mendapatkan respon dingin dari cucunya.

"Jangan lupa bawa cucu menantu keduaku untuk datang juga, sudah lama dia tidak datang bertemu denganku."

Pupil mata lelaki yang dipanggil Arsenio itu melebar sedikit, cengkramannya pada ponsel menguat.

"Kakek tidak lupa bukan?" Suara Arsenio terdengar rendah penuh ancaman, "Dia sendiri yang tidak ingin datang ke acara keluarga kita."

"Lalu apa? Itu hanya kamu yang tidak ingin membawanya bukan?" Lelaki tua mencibir pelan, "Jangan kira kakek tidak tau seperti apa dirimu Arsen."

"..."

Arsenio terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, "Aku tidak mungkin memaksa seseorang yang memang tidak ingin datang bukan? Mendiang kakeknya pasti tidak ingin cucu perempuan satu-satunya diperlakukan tidak baik, benar begitu kakek?"

"Ya... Tapi ingat Arsen, usahakan cucu menantuku untuk datang, aku benar-benar merindukannya."

"Mmm, baiklah aku ada urusan kakek aku pamit."

"Tuan besar bagaimana?"

Lelaki tua itu menyimpan ponselnya diatas meja, dengan lembut kursi yang didudukinya bergoyang ringan.

"Seperti yang kita duga, hubungan mereka benar-benar tidak berkembang." Lelaki tua menggelengkan kepalanya tanpa tenaga.

Lelaki di sampingnya mengerutkan keningnya, ia mengangkat tangannya dan menggerakkan jari jemarinya.

"Pernikahan Tuan muda sudah hampir memasuki usia yang ke 16, tapi bagaimana bisa hubungannya begitu berdarah dingin?"

"Enam belas? Kapan tepatnya?"

"Beberapa hari setelah ulang tahun Nyonya muda kedua."

"Mmm." Lelaki tua mengangguk, matanya menatap lurus ke depan dengan muram, wajahnya yang tanpa ekspresi membuat lelaki di sampingnya bahkan tidak tau apa yang dipikirkan lelaki tua itu.

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang