42. Prasamaya #4: Wahid

138 13 0
                                    

/wa·hid/
satu, tunggal

***

You don't get unity by ignoring the questions that have to be faced.

― Jay Weatherill 

***

Fira melangkah keluar ruang asisten dosen. Arina masih duduk di tempatnya menunggu.

"Kelas gue habis. Gue mau balik kosan. Mau ikut?" tawar Fira.

Arina langsung berdiri.

Mereka berjalan ke lift.

Fira melirik. Arina masih enggan bersuara.

"Nggak usah naik mobil lo lah ya," tukas Fira. "Takut lo susah parkir—"

Arina menyambar, "Nggak. Naik mobil gue aja."

"Oke. Mau sambil cari makan siang nanti?"

Arina mengangguk.

Mereka turun. Arina berjalan duluan ke tempat parkir. Fira mengikuti dari belakang.

Saat mereka telah mengenakan sabuk pengaman, Fira bertanya, "Lo ngambek?"

Arina menggeleng.

"Gue ga tau mau ngomong apa." Arina mendesah. "Minta maafkah? Menyesalkah?"

Fira tak menjawab.

Tak ada yang memecah hening hingga mobil Arina mencapai indekos Fira. Mereka berdua masuk dan duduk di lantai.

Arina berujar, "Oke, gue ngaku salah." Tangannya terangkat ke udara. "Tapi gue ga nyesel. Serius."

Fira menyahut, "Kenapa?"

Arina menjawab, "Karena Dimas."

"Dimas?"

"Dimas—oke, gue ga mau lo lupa sama yang udah dia lakukan ke lo."

Fira menghela napas.

"Makasih banyak, Rin." Senyap. "Tapi apa lo ga terlalu ikut campur?"

"Emangnya, kalau gue ga ikut campur, Dimas bakalan bantuin lo?" tantang Arina.

Fira menggeleng.

Arina melanjutkan, "Gue ga maksud ngerendahin lo. Gue malah bersyukur banget lo bisa berdiri sendiri, cuma ini bukan kondisi biasa. Lo yang diem sendiri. Lo yang terluka sendiri. Dan ga ada yang tau." Arina mendesah. "Gue mau lo bisa minta bantuan, Fir. Ini batas lo."

Fira merebahkan badan di kasur.

"Gue ga ngerti," ungkap Fira.

Arina menjawab, "Ga ngerti apa?"

"Hidup gue. Gue selama ini mikir kalau hidup gue cukup. Ya, nggak secukup lo, tapi cukuplah buat berdiri sendiri." Fira menutup muka. "Sakit sedikit dan hidup gue ke mana-mana."

Arina menjawab, "Itulah gunanya teman. Jangan maksa buat hidup supermandiri. Lo nggak akan sanggup."

Fira menjawab, "Gue kerja. Uang sedikit masuk. Ada uang beasiswa juga. Tapi semuanya harus masuk terus. Gue ga bisa istirahat bahkan seminggu. Gue ga ada dana lagi. Mana dana bulan depan udah cair bulan ini."

Hening.

"Gue ga bisa pulang semester ini. Bener-bener kosong. Antara gue ga bisa ikut ujian yang tugasnya dikumpulin print atau—atau—"

Arina menunggu. Fira tak kunjung meneruskan ungkapannya.

"Sori gue ikut campur urusan lo sama Dimas. Orang itu berhak bantuin lo. Minimal sampai lo punya uang lagi buat lanjutin hidup."

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang