11. Beling

400 44 1
                                    

/be·ling/
1. pecahan kaca (porselen dan sebagainya)
2. serbuk halus-halus dari pecahan kaca dan sebagainya
3. barang pecah belah; tembikar; porselen


***

  When you judge others, you do not define them. You define yourself.

― Earl Nightingale 

***

Senyap.

Dunia mengabur. Dua tatap bersilang pandang.

Fira yang pertama bereaksi. Ia melepas paksa genggaman Dimas. Dimas terkejut dengan reaksi gadis itu.

"Kau!" geram Dimas.

Fira tak menjawab. Matanya lekat menyorot Dimas. Bahkan, karena tajamnya tatap itu, Dimas sampai mengalihkan pandang.

"Oke, saya tahu saya salah." Dimas menggaruk kepalanya. "Memang salah. Itu, kan, yang tersirat dari tatapmu itu?"

Pandang itu melunak. Namun, gerak-gerik Fira jauh lebih beku dari teriknya Bandung.

Dimas menggeram. Jantungnya berdebar. Wajahnya memerah. Tangannya terkepal.

"Saya mengajakmu bicara!" desis Dimas.

Mata Fira berkedip. Namun, bibirnya mengatup. Perlahan, tatap itu berubah menjadi kosong. Bahkan, ia layaknya seseorang yang sedang menatap ke kejauhan.

"Fir, saya tahu saya salah, tapi bisakah kamu tak menghakimi saya dengan kediamanmu?"

Dimas lekat bersitatap dengan gadis itu. Namun, ia bahkan bungkam seribu bahasa. Ia bahkan tak menjerit kala lengannya digenggam terlalu erat oleh Dimas.

"Oke, saya anggap kamu marah." Dimas menghela napas. "Tapi tahu, tidak, kau turut ambil andil dalam kesalahan ini?"

Hening.

"Itu karena kamu—tak menyenangkan!"

Deg.

"Lihatlah Prinka. Tubuhnya seksi. Pakaiannya menarik. Ia menawan. Tanpa melakukan apapun, ia sudah banyak memanen poin lebih." Dimas menarik napas. "Sedangkan kau—"

Dimas menyorot mata Fira. Pandang itu menatap Fira layaknya sampah.

"Bahkan, kau tak tahu pakaian yang pantas dipakai ke pesta atau ke café. Bukankah begitu?"

Deg. Deg.

"Bagaimana kita bisa bekerjasama jika bahkan kau tak dapat membuatku bahagia? Minyak di kulit legammu itu saja sudah membuatku jijik! Setidaknya, poles dengan bedak!"

Deg. Deg. Deg.

"Belum cukup? Perlu kusebutkan masalah bibir hitam dan alis tipismu?"

Deg. Deg. Deg. Deg.

"Ibu adalah make-up artist. Wajar jika aku tahu dan menuntut kesempurnaan dari wanita. Yang mengherankannya, Ibu malah memilihkan wanita kucel sepertimu!"

Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.

"Ah, sudahlah, kau takkan mendengarkanku. Pasti kau lebih memilih menutup mulut dan menangis dalam gelap. Wanita sepertimu mudah ditebak, kautahu?"

Dimas melangkah pergi. Fira masih membatu. Kala Dimas sudah memacu mobilnya membelah jalan, barulah Fira bergerak. Langkahnya biasa saja.

Ia berjalan menuju angkutan kota.

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang