10. Hantam

419 43 1
                                    

/han·tam/ pukul; tinju;

***

An eye for an eye will only make the whole world blind.

― Mahatma Ghandi

***


Panas. Gerah.

Lampu lalu lintas menghijau. Klakson meraung. Di tengah penatnya lalu lintas, ponsel Fira berbunyi.

👻: Kak, kapan sampai?

Mettadevi N. Safira: Bentar ya masih di jalan.

Tak ada balasan. Fira memasukkan ponselnya ke tas. Ia alihkan pandangan ke motor yang berkerumun di balik angkutan kota yang ia naiki.

Sabtu itu, mentari begitu terik menyengat Bandung. Fira menghela napas. Seandainya ia lebih tua beberapa tahun, mungkin ia masih dapat menikmati dinginnya Bandung kala mentari tegak di cakrawala. Kini, bahkan ia sulit bernapas lega.

Ia tiba di tempat tujuan. Ketika membayar ongkos, ponselnya bergetar. Ia berjalan sembari membuka pesan yang masuk. Rupanya, dua pesan masuk. Ia membalas yang lebih penting dahulu.

👻: Kok lama kak?

Mettadevi N. Safira: Ini udah sampai.

Sambil berjalan, matanya terfokus pada pesan yang satu lagi. Rupanya, Nava, rekan sejurusannya, mengirimkan pesan.

Rinnava Febriani: Fir, sini dateng. Angkatan kita kurang kamu.

Hendak membalas apa? Oh-maaf-saya-tak-seberuntung-kamu-jadi-tak-bisa-datang? Yah, Nava memang dari keluarga kaya raya. Berbeda dengan Fira yang bahkan masih harus bekerja untuk menambah uang sakunya.

Fira menghela napas. Jarinya menari di atas layar ponsel.

Mettadevi N. Safira: Nggak dateng dulu, Va. Sori ya.

Sambil mendorong pintu kafe, Fira berpikir. Kawan-kawannya pasti tak kehilangan dia. Ia cenderung diam di angkatannya. Pun ia tak masuk deretan gadis rupawan nan menawan. Tak akan ada yang diam-diam mencarinya selain demi presensi dan gengsi. Paling-paling, Arina yang akan ribut memakinya.

Fira mengedarkan pandang. Di pojok, dua orang remaja melambaikan tangan padanya. Fira mendekat.

Laki-laki di meja itu menggunakan kemeja rapi dan celana bahan hitam, sedangkan sang perempuan memakai blouse berenda tipis berwarna putih. Pakaian dalamnya hampir terlihat. Fira sampai terheran dibuatnya. Apakah gadis itu tak menyadari tatapan lapar dari pria di sampingnya?

Sayangnya, Fira tak bisa berkomentar. Jika ia tak butuh uang dari mereka, ia takkan mau jauh-jauh mendatangi kafe itu. Bahkan, seumur hidupnya, Fira enggan memasukinya. Terlalu mahal!

"Kak Fira, apa kabar?" tanya sang gadis.

"Baik. Apa kabar juga, Rita? Gerald?"

Kedua remaja itu tersenyum padanya. Dengan cepat, Fira mengeluarkan kertas yang sudah ia persiapkan sebelumnya.

"Kata Gerald, kamu mau diajarin limit, ya, Rita?" tanya Fira.

Bibir bergincu Rita mengerucut. Ia mengeluh, "Iya, nih, Kak. Guru di sekolah nggak jelas ngajarinnya. Padahal, kulihat banyak soal limit di SBMPTN. Aku takut."

Fira tersenyum. Walaupun dandanannya mirip jalang, Rita peduli akan masa depannya. Karena Rita peduli, Gerald mencari Fira. Karena mereka, Fira mendapatkan tambahan.

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang