16. Riak

346 35 0
                                    

/ri·ak/
1. gerakan mengombak di permukaan air; ombak kecil; gerakan air yang merupakan lingkaran (seperti apabila kita menjatuhkan batu ke air)
2. getaran (udara)
3. gelagat; gerak-gerik yang menjadi alamat bahwa ada sesuatu yang terkandung di dalam hati

***

 The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.  

  ―  Marcel Proust

***

Mentari tak muncul.

Langit suram. Rinai hujan berderak di sepanjang jalan setapak. Fira berhati-hati agar sepatunya tak basah.

Sambil mengingat perintah Pak Firman, ia menghindar dari kubangan air di jalan. Ia nyaris menabrak sesuatu jika tak dihentikan orang di belakangnya. Kala Fira menoleh, Ucup terkekeh.

"Mau UTS, Fir?"

"Nggak Cup. Gue ketemu Pak Firman aja hari ini."

Ucup menawarkan payung. Fira mengacungkan payung yang belum ia buka karena ia masih melintas di bawah pepohonan.

Keduanya berjalan cepat hingga gedung kuliah. Ucup segera berlari menuju ruang ujian, sedangkan Fira menikmati irama rintik yang beradu dengan tanah.

Fira mengeluarkan ponsel dari saku. Pak Firman belum menghubunginya lagi.

Fira mengalihkan pandang. Seluruh sudut kampus tampak di matanya. Mahasiswa-mahasiswa baru berlarian karena belum terbiasa dengan jalur kuliah. Dosen-dosen saling berbisik sembari memeluk erat dokumen di tangan. Beberapa mahasiswa memindahkan alat dari lapangan ke gedung kuliah. Bahkan, Fira masih menangkap air mancur yang terus menyala selama hujan turun.

Setelah Adel tak mengusiknya, Fira merasa bahwa harinya kosong. Biasanya, ia selalu mencari rute agar tak bertemu kawan satu jurusan. Saat itu, ia bahkan sempat menikmati waktu kosongnya yang hanya beberapa menit. Gangguan kecil atau tatap tajam yang biasa ia dapatkan turut menghilang seiring dengan Adel yang semakin jarang kuliah.

Fira tersenyum tipis. Ia tak menyangka akan bersilang jalan dengan wanita paling berpengaruh dalam hidupnya. Apalagi, ia memiliki barisan orang yang rela membelanya tiap waktu. Pemujaan buta seperti itu sangat asing untuk Fira. Ia bahkan jarang mendapatkan perhatian, apalagi disanjung setinggi itu.

Beberapa orang yang Fira kenal menyapa. Fira membalas sapaan orang-orang itu. Setelah kawan-kawannya pergi, Fira kembali menatap langit yang belum menuntaskan tangis.

Fira kembali melirik ponsel. Pak Firman belum menghubunginya kembali. Sayangnya, Fira enggan naik ke lantai jurusannya. Ia masih malas bertemu muka dengan sosok-sosok yang sempat melemparkan tatapan bengis.

Saat hampir bosan, seseorang melambaikan tangan dari jauh. Rupanya, Marvin tergesa-gesa menuju tempat Fira berdiri.

"Bengong aja, Bu?" godanya.

Fira tersenyum miring.

"Lebih bengong gue atau lo yang masih aja jomblo?"

Marvin membatu. Fira menahan gelak.

"Ngelunjak ya lo, Dek," sindir Marvin.

Fira menyeka sudut mata. Ia tak pernah lupa bahwa seharusnya ia adik kelas Marvin. Karena Fira naik satu angkatan, Marvin sering mengejeknya dengan panggilan 'adik' yang tak pernah Fira permasalahkan.

"Iya deh, Kakak," balas Fira. "Lo ngapain di sini? Bukannya lo ga ada ujian?"

Seketika, air muka Marvin tertekuk. Fira sampai menaikkan alis. Pasalnya, Marvin tak pernah memancarkan duka.

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang