22. Tukik

265 25 0
                                    

/tu·kik/
terbang (terjun dan sebagainya) arah ke bawah dengan kepala di bawah; membidik (memandang dan sebagainya) arah ke bawah  

***

Grief does not change you. It reveals you. 

— John Green, The Fault in Our Star

***

Dimas mengernyit.

Fira berdiri di hadapannya. Ia jelas tak menggunakan pakaian miliknya. Baju itu terlalu modis untuk Fira.

Dimas melirik Arina. Gadis itu menggunakan kaus kepanitiaan acara di ITH. Arina bukan mahasiswi yang aktif di BEM. Baju itu jelas milik Fira.

"Good job," puji Dimas pada Arina.

Senyap.

Tiba-tiba, Arina memekik, "Gitu aja?"

Dimas membalas, "What? Emang kamu mau apa lagi?"

"Terima kasih, kek. Maaf ngerepotin, kek," serang Arina. "Mentang-mentang lebih tua jadi seenaknya."

"Saya memang lebih senior dari kamu," seru Dimas.

"Ngaku senior, tapi kelakuan kaya bocah," sindir Arina.

Dimas meledak, "Apa—"

"Silakan lanjutkan berantemnya," potong Fira.

Arina dan Dimas menoleh. Fira berdiri tegak di antara mereka berdua. Sebelum keduanya sempat membantah, Fira berjalan ke arah mobil Dimas. Dimas hendak menyusul, namun Arina mendesis. Ia menyalip Dimas. Sebelum Fira mencapai mobil Dimas, Arina memegang pundak Fira.

"Fir, gue tau lo nggak bisa lepas dari bocah ini." Arina menggeram pada Dimas. "Ga usah dateng aja. Ngerepotin banget."

Dimas menyalak, "Sembarangan—"

"Arina. Kak Dimas," panggil Fira. Matanya menyorot Arina. "Rin, gue ga apa-apa kalau lo mau debat sama Kak Dimas. Gue tungguin." Fira menoleh pada Dimas. "Kak Dimas juga nggak apa-apa kalau mau berantem dulu sama Arina. Saya tunggu dekat mobil."

Hening.

"Fir, jangan lakuin ini kalau lo nggak ikhlas," pinta Arina.

Fira tak langsung menjawab. Ia menghela napas, lalu berujar, "Gue ga tau." Fira memejamkan mata. "Dua-duanya salah, Rin. Ikut salah, ga ikut juga salah. Sayangnya, resiko yang gue tanggung lebih besar kalau nggak ikut."

Arina menunduk.

"Kak Dimas juga," sindir Fira. "Kalau keluarga Kak Dimas ada di posisi saya, Kak Dimas pasti lebih marah dari Arina. Sayangnya, saya nggak punya keluarga. Saya hanya punya Arina dan Marvin."

Dimas menelan ludah.

"Jadi kamu nggak jadi ikut?" tanya Dimas.

Senyap.

Fira menjawab, "Saya ikut. Anggap saja saya sedang belajar untuk ikhlas." Fira menoleh ke Arina. "Lo juga, Rin, ikhlaskan gue pergi."

Arina membuka mulut, tapi ia batal mengutarakan isi pikirannya. Bibirnya kembali terkatup.

Fira menepuk pundak Arina. Dalam hening, keduanya mengangguk setuju.

Fira berujar, "Gue pamit, Rin."

Arina mendesah. Ia hanya mampu berkata, "Hati-hati, Fir."

Fira mengangguk. Ia berujar, "Makasih banyak, ya."

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang