58. Cangkang

120 15 0
                                    

/cang.kang/
1. kulit telur
2. rumah siput atau kerang
3. kulit keras yang menutupi badan (pada penyu, kura-kura, dan sebagainya)
4. kurang sopan; kurang ajar terutama suka menjawab dengan keras apabila dimarahi (dinasihati)

***

Try to be like the turtle - at ease in your own shell.

-- Bill Copeland

***

Fira berdiri di tengah kamarnya.

Persiapannya telah lengkap. Ia berhasil mengejar seluruh dosen pembimbing dan penguji untuk revisi. Di antara waktu berkeliling untuk menemui dosen, ia berhasil mengumpulkan persyaratan kelulusan. Ia juga sempat berkunjung ke rektorat dan berkomunikasi perihal prosedur kelulusan tanpa wisuda. Yang jelas, Arina telah dititipkan surat kuasa untuk mengambil ijazah, toga, dan kelengkapan kelulusan lainnya.

Saat itu, kamar Fira telah berubah menjadi ruang kosong. Ruangan itu tak berbeda dengan kamar indekos mahasiswa baru. Tak banyak barang dan hanya menyisakan satu tas kecil dan koper kosong. Barang-barang yang Fira ingin bawa ke tempat kerja telah dikirimkan ke sana. Sisa barang-barang yang tak Fira bawa dijual murah dan diwariskan ke adik tingkatnya.

Fira mengambil botol air minum baru. Kala membalikkan badan, Marvin telah berdiri di ujung pintu.

"Ga kebayang lo udah mau pergi aja," Marvin berkomentar. "Kamar kosan lo jadi kosong banget ini."

Fira tersenyum simpul. "Udah rezekinya, emang."

Fira keluar ruangan dan mengunci pintu.

Marvin bertanya, "Terus lo minum gimana? Galon kan udah dijual minggu lalu."

Fira menunjuk botol air di tangan. "Beli yang satu setengah liter bisa kok. Cuma seminggu ini."

Marvin mengangguk. "Oh, gitu. Giliran udah mau pindahan gini lo baru keliatan punya uang ya."

Fira menggeleng. "Ini dari hasil jualan buku dan peralatan kosan juga kali."

Mereka berjalan ke mobil Marvin. Fira masuk ke sisi penumpang, sementara Marvin duduk di sisi pengemudi.

"Serius mau beli kemeja sama celana di Bandung?" tanya Marvin. "Enakan beli di sana lo."

"Tapi lebih murah di sini," ungkap Fira. "Gue ga tau di sana ada yang kaya Gedebage atau Andir."

"Terserah," Marvin tergelak sembari memasang sabuk pengaman. "Gue nganter doang ya. Ga tanggung jawab milihin baju lo."

Fira mengangkat tangan. "Oke oke. Gue ga akan minta bantuan lo lebih dalem lagi."

Mereka melaju ke pasar yang menjual ribuan kemeja sisa impor yang murah.

Marvin turun dari mobil. Matanya menyipit pada kerumunan ibu-ibu di depan.

"Udah sengaja nyari hari kerja juga tetep aja tempat ini ga ada sepi-sepinya." Marvin mendesah.

Fira turun dari mobil. Tiba-tiba, Marvin turut turun.

"Lo ngapain turun?" tanya Fira.

"Ga tega ngebiarin lo jalan masuk sendiri, lebih tepatnya," Marvin menjelaskan. "Sekalian bantuin lo bawa barang. Lo bakal beli banyak kan?"

Fira merenung. "Mungkin belasan kalau dananya muat. Biar ga keliatan seminggu muter baju sih. Sekitar dua mingguan gitu? Sampai orang lupa? Celana sih beberapa aja."

"Lo ga punya kemeja banget pas kuliah sih ya."

"Gue ga beli karena belum butuh!" kilah Fira. "Lagian gue juga belum punya penghasilan pasti."

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang