12. Gelombang

386 42 0
                                    

/ge·lom·bang/
1. ombak besar yang bergulung-gulung (di laut)
2. aliran getaran suara yang bergerak dalam eter (radio)
3. kelompok; golongan (pasukan, pesawat terbang, dan sebagainya) yang bergerak maju beruntun-runtun
4. gerakan (pemogokan dan sebagainya) yang beruntun-runtun

***

The more violent the storm, the quicker it passes.

—Paulo Coelho

***


DIMAS

Kala aku menapakkan kaki ke rumah hari itu, aku menggigil.

Aku ingat sekali kali terakhir Ibu marah besar padaku. Hari itu, ia bahkan melemparkan botol parfum termahalnya. Rian, seperti biasa, terkikik menatapku yang menghindar kesana-kemari. Aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu.

Sejak saat itu, aku mencoba untuk tak membuat amarah Ibu mendidih. Padahal, Ibu selalu manis dengan peralatan make up dan model manis yang selalu keluar-masuk salon (yang tepat berada di depan rumahku, omong-omong). Yah, walaupun seleraku menjadi cukup tinggi karena terbiasa dikelilingi wanita rupawan.

Aku menelan ludah. Takut sekali rasanya! Jika Fira tak sengaja mencicitkan kelakuanku pada Ibu hari ini, aku dipastikan tidur di luar malam ini. Aku memang bisa kembali ke apartemen, namun tentu saja aku enggan kembali memutar ke kota. Lelah rasanya menyetir berjam-jam dalam keadaan stres.

Aku membuka pintu depan dengan kunci. Kala aku sudah masuk ke rumah, pintu kamar orangtuaku terbuka. Ibuku mengintip dari sana.

"Dimas?"

Aku mendekat pada Ibu dan menyalaminya. Ibu membalas salamku.

"Jam berapa ini? Mengapa terlambat sekali?"

Aku mencuri pandang ke jam dinding. Aku cukup terkejut. Baru kali ini aku menyetir hingga jam satu pagi.

"Aku harus mengoreksi tugas hari ini, Bu."

Ibu tak melayangkan protes, seperti biasa. Beliau mengangguk lalu kembali masuk ke kamar.

Aku berjalan menuju kamar. Kuletakkan tas kerjaku di meja. Kuganti bajuku. Hari yang—

Tunggu.

Setelah serangkaian kejadian yang aku lewati hari ini, rasanya ini terlalu normal. Aku masih ingat saat Ibu berinteraksi dengan Fira yang kaku, namun beliau bersikeras bahwa aku akan cocok sekali dengannya.

Melihat reaksi Ibu yang biasa saja, aku sangsi Fira sudah bercerita pada Ibu. Padahal, kedua wanita itu sudah saling bertukar nomor. Apakah Fira melindungiku?

Bah, mana mungkin. Paling ia takut nilainya bermasalah semester ini.

Aku tak berpikir lagi. Setelah merebahkan badan, kantuk membawaku ke alam mimpi.

***

"Selamat pagi, Pak Adi."

Di depan ruang tata usaha, Adel girang kala Dimas melangkah masuk. Ia langsung menyapa dosen muda itu dengan senyum berbinar. Dimas, yang senang disapa wanita menawan, membalas senyum itu.

Di sudut lorong, Fira menatap dua orang itu. Seperti biasa, tatapnya hampa. Sambil mengunci mulutnya rapat-rapat, ia berjalan masuk ke ruang dosen.

Di tengah jalan, uluran tangan menghentikan langkahnya. Kala Fira mengangkat muka, Adel balas menatapnya. Matanya disipitkan. Wajahnya memerah akibat geram.

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang