13. Horizon

386 42 0
                                    

2 part dalam satu hari. Lagi ada waktu, haha. Enjoy!

***

/ho·ri·zon/
kaki langit; cakrawala

***

  Be careful with your words. Once they are said, they can be only forgiven, not forgotten. 

― Unknown

*** 

Dimas terpaku.

Arina menatap tajam matanya. Bahkan, tatap itu jauh lebih ganas dari orangtua Fira. Kedua sosok itu malah membuka hati padanya. Sekarang, ia bertemu dengan seseorang yang berani menggilas siapapun yang mengusik Fira.

Ketika kau kehilangan rumah, kau akan menemukan rumah lain.

Kesadaranmenampar Dimas. Bagi Fira, rumah di Yogyakarta hanyalah rumah.

Dimas memulai dengan, "Rumah." Ia berdeham. "Pertama kali aku bertemu Fira, ia sedang bersama dengan seorang pria di perpustakaan jurusan. Kelihatannya, mereka akrab sekali. Aku terpana dengan persahabatan keduanya. Pasalnya, latar belakang keduanya jauh berbeda."

"Marvin?" potong Arina.

"Saya tak ingat."

Arina bungkam.

"Pertemuan kedua berlangsung di rumah Fira. Rumah itu besar dan nyaman. Saya sampai terheran-heran kala mendengar bahwa Fira mengandalkan uang beasiswa."

Arina bergumam, "Saya tak tahu. Saya tak pernah mampir ke rumah Fira. Saya asli Bandung."

Dimas menjawab, "Saya tahu. Logatmu kental sekali, kautahu."

Arina tersenyum miring.

Dimas kembali berkisah. Pandangannya diarahkan ke tembok kosong. Seolah-olah, tembok tersebut memutar memorinya.

"Kemudian, saya mengenalmu. Dari situ, saya heran. Fira kaku sekali di rumah, padahal ia bebas bereskpresi di hadapanmu dan Mar—ah, saya lupa. Yang jel—"

"Marvin," sela Arina.

"Ya, Marvin." Dimas menghela napas. "Saya hanya—yah, berpikir bahwa ada yang tak beres dengannya."

Arina tak menjawab.

"Apakah ia ditekan di rumah?"

Jika tak ada Fira yang terlelap dan mereka sedang berlayar dengan kapal pesiar, Dimas dipastikan tenggelam saat itu juga. Wajah Arina memerah. Bedanya, ia tak tersipu akan ucapan Dimas. Ia marah besar.

"Itu?" Arina menahan jeritannya. "Hanya itu?"

Dimas buru-buru menjawab, "Bukan hanya itu. Tenanglah."

Hening. Arina menghela napas panjang berkali-kali. Dimas memilih mengunci mulut dan tetap menatap tembok.

Setelah senyap berkuasa, Arina menyingkirkannya dengan "Baiklah. Apa lagi?"

Dimas meneruskan, "Ia menderita."

Arina hampir mencibir jika Dimas tak segera berkata, "Perlahan, oke? Verifikasi saja. Benar atau salah?"

Mulut Arina sudah terbuka, namun ia mengatupkannya kembali. Ia mengangguk.

Dimas berdeham lagi.

"Rumah." Dimas memberi jeda pada kata itu. "Sejak awal saya mengenal Fira, entah mengapa saya mengasosiasikannya dengan kata 'rumah', padahal Fira jelas bukan wanita yang cocok berada di rumah. Ia lebih pantas bersanding dengan rumah sakit dan jas putih."

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang