26. Zenit

237 26 0
                                    

/ze·nit/ titik khayal di langit yang tegak lurus di atas bumi terhadap cakrawala; titik puncak

***

Be not afraid of going slowly; be afraid only of standing still.

— Anonim

***

Arina membelah jalan.

Gadis itu melaju ke rumah paman Marvin. Pria itu pasti menukar motor dengan mobil. Ia benci berpanas-panas dan terekspos debu.

Saat Arina berbelok ke perumahan paman Marvin, ponselnya bergetar.

Marv: Gue balik, ya. Nanti nebeng mobil lo aja.

Arina menghela napas. Instingnya benar. Ia terus mengarahkan mobilnya ke rumah paman Marvin. Setelah memarkirkan mobil, ia keluar dan mampir di warung rumah tersebut.

"Arina!" seru staf warung rumah paman Marvin. "Marvin ga ada."

Arina mengangguk.

"Nggak apa-apa." Arina melirik lemari pendingin di belakang staf warung. "Yang biasa ada?"

Staf warung terbahak. Ia mengambil teh favorit Arina. Gadis itu membayarnya.

"Udah janjian sama Marvin?" tanya staf warung.

Arina mengangguk.

Mereka segera mengalihkan perbincangan. Arina tengah menyimak tentang jenis beras yang baru dijual di toko itu ketika Marvin tiba. Kala Arina hendak menyapa, pria itu langsung masuk ke rumah tanpa menyapanya.

Sesungguhnya, Arina kalut. Wajah Marvin merekah merah. Dari tindak-tanduk pria itu, Arina langsung menebak bahwa rona merah itu bukan karena ia panas atau polisi. Bandung di kala malam tidak sepengap itu.

Cukup lama Arina menunggu. Kala rintik pertama turun, Marvin baru keluar dan berdiri di hadapan Arina.

"Mandi dulu?" ucap Arina setelah matanya melirik rambut basah Marvin.

Marvin menggeleng. Ia mengulurkan tangan.

"Siniin kunci lo," pintanya.

Arina terbelalak.

"Lo abis kacau gitu mau nyetir?" Arina berdiri. "Nurut sama gue."

Arina melangkah cepat. Marvin mengikuti.

Saat keduanya masuk ke mobil, rintik menderas.

Arina memastikan, "Lo nggak apa-apa kan?"

Marvin menggeleng. Gelengan itu membuat Arina berceloteh, "Lo nggak keliatan baik-baik aja."

Marvin menghela napas. Ia berujar, "Gue marah."

"Sama?" tanya Arina.

Marvin menjawab, "Diri gue sendiri."

Arina hendak berkomentar, namun Marvin bahkan enggan bersitatap dengannya. Akhirnya, ia melajukan mobil.

Hujan, arus lalu lintas, dan jarak yang cukup jauh dari restoran membuat Arina dan Marvin tiba jauh setelah acara dimulai. Tetes air bahkan masih menghunjam mobil Arina yang terparkir di rumah makan sebelah restoran.

Senyap.

Arina membuka pembicaraan, "Terus gimana?"

Marvin tak menjawab.

"Lo kenapa, Vin?" tanya Arina.

Enggan, Marvin menjawab, "Banyak pikiran."

"Serius, lo ga jujur sama gue!" desak Arina. "Ada apa, Vin?"

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang