55. Kerakal

155 15 0
                                        

/ke.ra.kal/
1. batu kerikil yang agak besar
2. hasil peremukan batuan
3. batuan berbentuk tidak teratur dan bersudut runcing
4. endapan batuan bulat dengan garis tengah antara 10–15 mm

***

At the end of the day, it isn't where I came from. Maybe home is somewhere I'm going and never have been before.

― Warsan Shire

***

Apa yang bisa Fira ingat dari masa setelah ujian tengah semester? Ia hanya terbangun di sekretariat, mencuci muka, mengerjakan tugas, menghadiri kelas, mengerjakan tugas kembali, dan terlelap di sana. Ia pulang ke indekos setiap dua kali seminggu untuk mengambil jemuran, menyetrika, dan mencuci tumpukan baju selama beberapa hari. Terkadang, ia juga membawa perlengkapan hidup sehari-hari jika sudah habis.

Detik menghunjam. Ia sadar akan waktu yang semakin menyempit, namun jeruji tugas dan sidang masih menghantui. Untungnya, karena Fira telah bermetamorfosis menjadi mahasiswa-tinggal-di-kampus, canggung tak menjadi dinding batas. Salah satu hal yang Fira syukuri adalah alumni yang sesekali muncul di sekretariat dan memberikan wejangan.

"Gue dulu ga serajin lo amat deh," komentar Bang Acin, kakak tingkat Fira.

"Abang nggak rajin dan dikirim ke Dubai empat tahun setelah lulus?" sindir Fira.

"Gue beruntung sih." Bang Acin terkekeh. "Pas gue baru masuk, kantor gue lagi dapet proyek chaos. Jadinya gue dimasukin ke tim inti. Pelanga-pelongo juga gue tiga bulan pertama."

Fira mengangguk. "Fair enough. Gimana rasanya masuk BUMN, Bang?"

Bang Acin merenung. "To be honest, gue emang punya koneksi sih. Nggak bilang kalau ga ada jalur tanpa koneksi, ya. Si Zamzam, yang seangkatan sama gue, masuk juga kok ke sana, cuma emang setahun setelah gue. Tanya dia aja deh. Punya kontaknya?"

"Nggak, dong, Bang. Gue belum punya akses ke grup alumni dan angkatan kita beda enam tahun." Fira menghela napas. "Ini abang ke Dubai sama BUMN itu?"

"Nggaklah. Gue lompat ke luar. Ga mau rupiah dong, kejar USD," ungkap Bang Acin.

"Benar-benar nasionalis, ya, Bang," Fira melontarkan canda.

"Gue sih nggak terlalu, ya. Paling jadi nasionalis kalau gue ngejar LPDP aja, tapi nggak deh. Sekarang juga gue udah makmur. Tinggal calonnya aja nih yang belum ada."

Fira mengernyit. "Jadi alesan Abang ngobrol sama gue supaya bisa minta nomor cewe-cewe di sini ya?"

Bang Acin terkekeh. "Duh, keliatan banget ya?"

Fira menngangkat bahu. "Seems like it. Emang Abang mau sama yang mana?"

"Lo pasti punya database foto mahasiswa di sini, kan, dari himpunan?"

"Ogah. Ga mau bantu Abang buat jadi creepy," tolak Fira.

"Ga asik ah," ungkap Bang Acin. "Ga mau liat gue nikah."

"Kalau mau nikah, cari sendiri cewenya, Bang."

Bang Acin merenung.

"Ya udah, kasih nomor lo ke gue deh. Biar gue bisa ngasih lo koneksi cari kerja, tapi lo juga bantuin gue pedekate ke temen lo."

Fira mengernyit. Bang Acin tak sedang mendekatinya; Fira tahu benar akan hal itu. Ia hanya tengah frustasi akan mencari calon istri. Namun, mendapatkan bantuan darinya dapat menjadi bumerang bagi Fira. Bagaimana jika ia gagal mengenalkan temannya ke pria itu?

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang