4. Ngarai

602 67 2
                                    

/nga·rai/
lembah (jurang) yang dalam dan luas di antara dua tebing yang curam; lembah sungai berdinding terjal yang terjadi karena erosi sisi pada batuan yang mudah gugur

***

"What are you going to do with all that dark?"
"Find a way to glow in it."

― Amanda Torroni

***

Nahloh?!

Fira terkejut. Di antara orang-orang yang hadir di ruangan itu, pria yang ia temui di kereta tegak di sana. Kelihatannya, ia masih remaja. Gayanya keren sekali. Fira sampai menaikkan alis.

Salah satu dari tamu-tamu itu, wanita yang hampir seumuran dengan ibu Fira, mendekati Cinta. Ia berujar, "Ya ampun, ini yang namanya Fira, ya? Cantik, ya, Dim."

Pria yang dipanggil menyahut, "Iya, Bu."

Seketika, tawa menggelegar. Bahkan, ayah Fira juga tertawa. Fira sendiri memaksakan senyum. Walaupun ia sering disangka lebih muda dari Cinta, tetap saja hatinya tercubit. Iya, Cinta memang cantik. Iya, Cinta memang terlihat dewasa. Namun, jangan mempermalukan Fira, dong!

Fira menatap pria yang menyahut tadi. Rupanya, ia bukan remaja yang ia temui di kereta. Sepertinya, ia adik dari yang akan dijodohkan dengannya.

Ayah Fira berdeham dan berkata, "Bukan dia, Bu. Fira sih yang ini. Yang ini Cinta, masih SMA. Masa udah dijodohin lagi."

Wanita itu salah tingkah. Ia mendekati Fira dan bergumam, "Maafin Tante, ya, Fira. Kamu awet muda, sih."

Fira tersenyum tipis. Ia malas menjawab wanita itu.

Setelah semua orang duduk, basa-basi dimulai. Dari sana, Fira tahu bahwa pria yang dijodohkannya bernama Adimas Probonegeri. Ia berusia dua puluh tujuh tahun. Tandanya, mereka berbeda tujuh tahun. Saat itu, Dimas sedang bekerja di sebuah perusahaan asing dan akan menjadi calon dosen di ITH.

"Tuh, Fir, sama-sama ITH!" seru omanya.

Fira mengangguk. Semoga saja senyumnya tak tampak dipaksakan.

"Kamu jurusan apa, Fir?" tanya ibu Dimas.

"Sipil, Tante."

Bukannya Fira berbohong, tapi Fira malas menjelaskan Teknik Kelautan ke tamu-tamu di hadapannya. Sudah merupakan kebiasaan Fira untuk menjawab Teknik Sipil jika ditanya prodinya.

"Oh, beda sama kamu, ya, Dim?"

Fira mengalihkan pandangannya. Kening Dimas berkerut sambil menatapnya. Namun, perlahan ia mengangguk.

"Oh, iya, ayo diminum dulu."

***

Saat aku tengah minum, Rian menyikut tanganku. Aku hampir tersedak karenanya.

"Rian!" hardikku pelan. "Sabar, Kakak minum dulu."

"Eh, Kakdim, denger dulu. Aku pernah ketemu cewek itu!"
(Kakdim: panggian Rian, adik Dimas, untuk Dimas)

Aku mengangkat alisku.

"Yang mana?" bisikku.

"Itu, si Fira. Kemarin satu kereta."

Aku tersenyum miring. Bukannya fokus pada pertemuan Fira dan adikku, aku malah membayangkan Rian duduk di kereta ekonomi. Walaupun aku tidak high maintenance, tapi malas sekali rasanya berdesakan di sana!

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang