9. Alir

413 41 0
                                    

/a·lir/
1. bergerak maju (tentang air, barang cair, udara, dan sebagainya)
2. meleleh (tentang air mata, peluh, dan sebagainya)
3. berpindah tempat secara beramai-ramai

***

Kita tidak pernah punya waktu untuk menjadi diri kita sendiri. Kita hanya punya waktu untuk menjadi bahagia.

- Albert Camus

***

Tak ada suara apapun di lorong selain ketukan sepasang sepatu. Langkah-langkah itu mengarah ke salah satu kelas di lantai 3 gedung.

Baru akan melangkah masuk, seseorang menahan pergerakan gadis yang baru tiba. Matanya terbelalak.

Baru hendak menanyakan keadaan, orang yang menahan sang gadis berbisik, "Gue perlu ngomong sama lo, Fir."

Fira mengerutkan dahi. Namun, ia hanya menjawab, "Gue naruh tas bentar. Boleh, kan, Rin?"

Arina mengembuskan napas. Ia menunjuk bangku kosong sambil berujar, "Lo duduk di sebelah gue aja. Itu nggak terlalu belakang, kok."

Fira hendak menolak, namun ia mengurungkan niat. Dalam keadaan sedang dijauhi satu jurusan, memiliki seseorang yang dapat selalu membela adalah pilihan tepat. jadi, Fira mengangguk sembari berjalan menuju bangku itu.

Di kelas, beberapa orang sudah hadir. Sebagian besar duduk di bangku tanpa suara. Kelas sepagi itu memang membuat sebagian besar mahasiswa masih mengantuk.

Fira meletakkan tas di bangku sebelah Arina. Sembari memeriksa gembok-iya, Fira takut sekali ada kawannya yang sejahil itu-di resleting tas, ia segera menyusul Arina.

Mereka tak berjalan jauh dari kelas. Mereka hanya turun ke lantai satu dan duduk di taman dekat gedung.

Arina yang pertama menuduh, "Gosip itu bener, ya?"

Fira melotot. Setahunya, ia tak diterpa gosip apapun.

"Gosip yang mana?" tanyanya.

Arina menjelaskan, "Gosip lo sama Pak Adi."

Fira mengerutkan dahi, namun ia balik bertanya, "Emang gosipnya apaan sih? Gue nggak tau rincinya."

Arina menghela napas. Ia bertutur, "Katanya, sih, lo deket sama Pak Adi. Dan lo posesif banget. Lo juga manas-manasin Adel waktu itu, kan?"

Fira semakin terperanjat, namun ia tak sempat membela diri karena Arina melanjutkan, "Oke, gue tau yang bagian Adel sangat dilebih-lebihkan. Adel tukang cari sensasi dari dulu juga, kan? Yang gue masalahin adalah lo deket sama Pak Adi. Itu bener, kan?"

Fira kembali bertanya, "Kenapa lo tiba-tiba nanya gini?"

"Gue sering bareng lo, Fir. Kalau lo nyapa Pak Adi, rasanya beda. Respons Pak Adi ke lo dan gue juga beda. Kesannya kaya-apa, ya? Lebih akrab?"

Fira membeku. Sejak awal, ia tahu bahwa tak baik menyembunyikan beberapa hal dari Arina. Arina mudah membaca gerak-gerik dan hati seseorang. Hal itu tentu saja kebalikan dari Fira yang lebih sering tak peduli dunia sekitar.

"Asal lo nggak cerita-cerita ke yang lain, gue mau ngomongin ini ke lo." Fira melirik jam tangan Arina. "Sepuluh menit, oke?"

Arina mengangguk.

Fira berkisah tentang perjodohannya. Ia juga menceritakan perkembangan hubungannya dengan Dimas. Selama berkisah, Arina tampak resah. Jelas saja, ia bahkan tak menebak sepertiga jalan ceritanya.

"Sebegitunya?" komentar Arina di akhir cerita Fira. "Tapi, kalau gue ada di posisi Kak Dim-eh, Pak Adi, gue juga akan memutuskan hal serupa. Hidup lo udah kaya mayat gini gara-gara orangtua lo." Arina mendesah. "Lagipula, Pak Adi kan emang kenal keluarga lo. Keluarga lo percaya beliau bakal ngejagain lo di Bandung."

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang