/ke·tuk/
tiruan bunyi seperti bunyi pukulan pada pintu, meja, dan sebagainya yang dibuat dari kayu***
"What happens when people open their hearts?"
"They get better."― Haruki Murakami
***
Aku bukan orang yang mudah bungkam oleh sebuah kisah. Biasanya, aku hanya mengangguk dan berharap cerita itu cepat usai. Kautahu, manusia cenderung membesar-besarkan masalah, sehingga aku menganggapnya sebagai angin lalu. Toh, aku merasa aku tak perlu mengerti orang lain secara utuh; mungkin karena aku terbiasa diterima dengan tangan terbuka. Bukannya aku membanggakan diri, namun aku memang cukup ramah di mata orang lain.
Kali itu, aku membeku. Aku bahkan tak mengangguk atau bereaksi kala Arina memberi jeda.
Arina mengarahkan pandang pada jendela terbuka. Jendela itu hanya menampakkan dinding dari rumah di sebelah gang, namun pandang Arina jauh menembus dinding itu.
"Bapak akan sulit mencerna cerita ini." Saat aku mengangkat alis, Arina buru-buru berujar, "Oh, jangan terkejut! Saya juga sama terkejutnya dengan Bapak. Bapak dan juga saya terlahir dengan latar belakang keluarga berada—oke, saya bukan stalker. Saya tahu dari cara Bapak berbicara. Berkelas sekali. Yang saya alami, satu-satunya masalah yang saya hadapi di rumah adalah kesepian. Orangtua saya jarang berada di rumah. Rasanya, saya sebisa mungkin menghabiskan waktu di luar rumah untuk mengisi ruang hampa di jiwa."
Untuk pertama kalinya, aku mengangguk. Aku ingat sekali dengan pacar pertamaku: Linda. Ia lima tahun lebih tua dariku dan merupakan pelanggan salon Ibu. Aku masih ingat betapa bahagianya hatiku kala Linda memanjakanku. Saat ia tengah naik daun, ia merentang jarak. Aku kembali tenggelam dalam kesunyian. Sejak saat itu, aku selalu dekat dengan banyak wanita. Ada yang hilang jika aku melangkah sendiri.
Arina berkata pelan, "Saya—saya merasa itu tak masuk akal. Mana ada keluarga yang membuang keluarga sendiri? Bukankah keluarga ditakdirkan untuk saling menjaga dan tak terpisahkan? Namun, saat saya menatap mata Fira, saya tahu pandangan saya tak salah. Sikap diamnya, kekakuannya, hingga pakaiannya yang—saya benci mengatakan ini—tak berkelas hadir menjadi saksi kebenaran jalan pikiran saya."
Aku bergeming. Aku tak membenci Fira, tapi memang pakaiannya tak berkelas. Ia hanya mengenakan kaus dan rok ke kampus. Bahkan ia sering menggunakan sepatu karet ke kampus. Mukanya tak pernah dipoles riasan apapun. Tasnya besar dan tampak berat. Dengan penampilan seperti itu, ia jelas tak menarik perhatian siapapun.
"Untuk pertama kalinya, saya mencoba berkawan dengan Fira. Saya ingat kekagetan Fira saat saya berusaha mengiringi langkahnya ke manapun. Walaupun terlihat aneh, saya mengerti. Saya tahu alasan Fira menjauh. Selama ini, ia tegap sendirian. Ia sulit berkawan karena tak menemukan seseorang yang mengerti latar belakangnya.
"Namun, lama-kelamaan, Fira luluh. Saya merasa berdosa karena tertawa mengingat ini, namun—oh!"
Arina terkikik. Aku tak turut dalam kebahagiaannya.
"Saat itu, saya tengah duduk di hadapan Fira. Tiba-tiba, ia mencondongkan wajah. Ia berbisik, 'Apakah kamu tahu make up yang bisa digunakan untuk menutup lebam?' Saya tak banyak bertanya lagi dan langsung menjelaskan tentang concealer."
Seketika, badanku merinding. Rupanya, Fira tahu cara menggunakan make up. Ia bahkan selalu tampak sehat dan—biasa saja? Maksudku, ia tak tampak terluka atau kesakitan.
"Fira memang pandai menyembunyikan luka. Bukannya saya mendukung aksinya, namun saya pribadi juga tak senang jika harus menjelaskan tentang luka di wajah. Saat ia mengerti, ia senang sekali. Akhirnya, pada ulang tahunnya, saya memberikannya concealer."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1/3] Prasamaya
ChickLitBuku pertama dari trilogi Wanantara. . Dalam Bahasa Sansekerta, Prasamaya berarti 'perjanjian'. Rata-rata manusia tersenyum pada dunia. Gelak tawa dan canda menggema di seluruh penjuru. Sayangnya, tawa itu hanya tampak dari luar. Jika ditilik lebih...