59. Pekik

107 19 2
                                    

/pe.kik/
1. teriakan; jeritan
2. sorak atau teriakan (sebagai semboyan dan sebagainya)

***

If you build the guts to do something, anything, then you better save enough to face the consequences.

― Criss Jami

***

Bandung.

Kota itu bukanlah kota kelahiran Fira. Bahkan, kota itu adalah kota tempatnya tertampar realita hidup. Terlalu banyak kisah ditorehkan di sudut kota itu, walaupun, sesungguhnya, Fira tak sering berkelana. Napasnya, makannya, dan hidupnya dimulai dari sana.

Setidaknya, hidup yang bisa ia atur.

Ia meninggalkan kartu tanda penduduk di pos satpam, kemudian berjalan masuk ke arah rumah Dimas. Dari kejauhan, Fira melihat plang salon.

Tempat itu adalah tempat terakhir ia akan menggenggam kedamaian. Setelah ini, badai mulai.

Sayangnya, Fira memang harus bertaruh.

Pilihan yang mana yang takkan menghanguskan kewarasannya?

Angin berhembus. Untungnya, Fira memang menggunakan jaket.

Fira menatap ke atas. Langit memang tak menunjukkan gemintang akibat polusi cahaya, namun rembulan sabit tegak di altar langit tanpa kawan. Awan tak menghadang, sehingga Fira tak perlu terusik akan kehadiran hujan saat pulang.

Fira menghela napas. Bandung tak sedingin saat ia menginjakkan kaki di sana. Setelah hari itu, Fira akan beranjak ke daerah pesisir. Ia aka kehilangan kekuatan untuk bertahan hidup di tempat sejuk.

Di depan rumah Dimas, Fira menyentuh pagar rumah Dimas. Ia tahu bahwa ia akan merindukan tempat itu. Setidaknya, Fira tahu bahwa orangtua Dimas percaya akan potensi Fira, walaupun hanya sekadar sebagai calon pasangan Dimas.

Udara dingin menusuk dada. Klakson angkutan kota menari di ujung jalan; kontras dengan senyap jalan lengang tempat rumah-rumah megah bertahta.

Fira membuka pintu gerbang rumah Dimas. Matanya melirik ruangan salon gelap. Mama Dimas jelas-jelas sumringah akibat Fira yang sudah lama tak bertandang. Sendu menyerbu akibat ia yang akan melontarkan warta tak baik.

Dimas keluar dari rumah. Ia mengenakan pakaian keluar yang cukup mewah. Lebih mewah dari tatkala ia mengajar, tapi tak semewah kencan-kencannya dengan wanita lain.

"Kak Dimas rapi banget, Apakah ini hal yang perlu dirayakan?" tanya Fira.

"Mama yang nyuruh saya begini." Dimas memutar mata. "Ngapain juga saya rapi-rapi sama kamu?"

Fira tak mengacuhkan genderang perang dari Dimas. Alih-alih, ia bertanya, "Om dan Tante di dalem?"

"Iya."

Fira mengangguk.

Keduanya melangkah melintas ruang tamu. Pandang Fira berbedar.

Itulah kali terakhir ia bertandang ke rumah pria sebagai 'pasangan.' Mungkin, ia akan menyandang status itu bertahun-tahun lagi.

Pandang Fira bersambut meja makan penuh masakan khas restoran Sunda. Mama Dimas jelas-jelas memasak sendiri hari itu. Fira sampai menelan ludah. Bukan karena lapar terpantik, namun akibat dosa turut menggagu.

Mama Dimas membawa teko air dari dapur.

"Fira udah dateng? Duduk dulu. Tante mau panggil Om dulu."

Fira menarik kursi dan duduk di sana. Dimas mengambil kursi di sebelah Fira.

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang