46. Tembikar

145 18 2
                                    

/tem·bi·kar/
1
barang dari tanah liat yang dibakar dan berlapis gilap; porselen
2 pecahan (pinggan, periuk, dan sebagainya); beling; tembereng

***

Seeing the enemy as human. A general's ultimate nightmare.

― Sabaa Tahir

***

Fira duduk di atas sajadah. Mukena masih terpasang dan ia baru menyelesaikan salat isya.

Asing.

Sejak Sherlina yang menghilang sehari sebelumnya, ia tak bertatap muka atau bahkan berkirim pesan dengan sepupunya. Awal pekan dan akhir tahun memang menjadi waktu yang wajar untuk mengejar target. Apalagi, dengan sepupunya yang selalu mengomel dan menuntut segalanya, pulang ke indekos menjadi waktu nyaman.

Namun, entah mengapa, menahan dingin tatkala tidur tanpa alas tercecap lebih hampa dibandingkan ditikam kasar sepupunya. Setidaknya, walaupun bertahan dalam ungkapan pedas adalah perkara pelik, ia tak dihadapkan dengan dinding kamar yang meredam suara tanpa jawab.

Sejujurnya, pada hari Sherlina menyerang, Fira menghitung detik; berharap cemas akan saat sepupunya lenyap dari waktu liburnya. Tak disangka bahwa dua hari adalah rekor tertinggi Sherlina. Ia bahkan tak sempat mengutarakan salam sebelum sepupunya lenyap entah ke mana. Karena Fira enggan memulai sapa, ia tak mencoba meraih sepupunya sama sekali. Ia lebih nyaman dicap tertutup daripada disangka senang ikut campur.

Akhirnya, Fira berakhir pada posisi asing. Perhatian yang tercurah pada ponselnya menjadi-jadi. Omanya berulang kali menghubungi di hari kerja dan menjerit lewat telepon. Bahkan dengan Fira mengecilkan dan menutup speaker lewat jari, teman seperjuangannya di laboratorium turut terciprat ungkapan merendahkan yang diutarakan pembicara di seberang telepon.

Malam itu adalah malam kedua ia diberikan waktu untuk bernapas. Malam itu juga, ia sedikit merindukan sepupunya. Harapan untuk dapat bercengkerama sembari dengan sepupunya telah pupus, namun―

Sherlina sempat melunak, bukan?

Setidaknya, Fira memiliki satu orang di keluarganya yang masuk ke posisi "netral". Atau, minimal, seseorang yang terang-terangan melawan keinginan Oma untuk mengekangnya. Pasti ada orang yang tak suka dengan keinginan kolot Oma, namun memilih untuk menoleh. Dicoret dari surat wasiat mengancam seluruh anggota keluarga.

Fira menutup lama.

Senyap.

Fira nyaris terlelap tatkala pintu kamar diketuk. Ia berdiri, membuka pintu―

Sherlina tegak di depan pintu. Bahunya tegap, namun air mata tumpah. Ia bahkan belum menghapus riasan wajah.

Fira tergagap.

"Mbak?"

Sherlina masuk ke kamar, melempar tas kerja, dan terbaring di kasur. Lututnya diteku dan dipeluk.

Raung tangis mengudara. Isak bertubi-tubi menusuk indra.

Sherlina, sepupunya yang keji, berduka.

Entah mengapa, Fira paham.

Fira mendekat. Di samping kasur, ia menjatuhkan diri.

Dan air matanya jatuh.

Dua saudari. Dua insan yang tak pernah bersimpati. Dua insan yang menolak untuk bersinergi.

Detik itu, lelah menerjang. Seluruh nyeri terpendam meruak. Tanpa kata, keduanya berbagi luka.

Tak ada yang menghentikan sendu. Lemas, pasrah, dan merah merekah pada mata menutup muram.

[1/3] PrasamayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang