50. Jiwa-nya Lemah

514 15 0
                                    

Sepasang kaki itu berjalan dengan terpaksa seakan menyeret beban berat dibelakangnya, dinginnya malam tak membuat gadis itu menggigil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepasang kaki itu berjalan dengan terpaksa seakan menyeret beban berat dibelakangnya, dinginnya malam tak membuat gadis itu menggigil. Kondisinya benar-benar kacau dengan tatapan kosong yang masih melekat di wajahnya.

Harum membuka pintu rumahnya perlahan, gadis itu berhenti melihat suasana rumah mendiang neneknya.

Dia bisa melihat bayangan Ayahnya yang selalu mengajaknya berbincang-bincang di ruang tamu itu.

"Risha?Apa kamu selalu memikirkan Ibumu?" Pria itu melihat anaknya dengan sendu ,karena ia takut anaknya selalu merasa diam-diam tertekan atas kepergian wanita yang melahirkan putri cantiknya.

Harum pun tersenyum kecil, "Ayah, Risha selalu memikirkan Ibu karena selalu merindukannya. Dia wanita hebat panutan Risha. Tapi Risha tau kok, Risha gak boleh terus-terus sedih karena Risha yakin Ibu sudah gak sakit lagi. Lagi pula masih ada pahlawan Risha di sini, yaitu Ayah."

Faris memeluk anak satu-satunya dengan sayang, "Maaf Ayah gak bisa ngasih yang terbaik buat kamu. Ayah juga minta maaf jika suatu saat nanti membuat kamu terluka. Jangan pernah membeci siapapun nanti. " Gadis itu diam tak mengerti akan perkataan Ayahnya.

Di tempat yang sama juga Harum bisa melihat bayangan Ayahnya yang memperbaiki mesin jahit untuknya dipakai lagi

"Emang mesin jahitnya nenek rusak apa Yah?"

"Nggak rusak, Ayah cuma mau memperbaiki sedikit biar muternya bisa lancar lagi. Ini barang wasiat loh, awet lagi gak akan pernah rusak." Faris dengan telaten memberi oli pada beberapa mesin yang sudah kering.

"Ayah, nanti Rsiha pengen jahit baju yang banyak buat Ayah sama Risha." Harap Harum, gadis remaja dengan segala impiannya.

"Amin, Ayah doakan cita-cita kamu terkabul sama Allah."

Di ambang pintu ini pun saat terakhir kali dirinya bertemu sang pahlawan hidupnya, Harum tak menyangka itu pertemuan terakhir yang sangat menyakitkan.

Risha menatap sendu sang Ayah yang akan kembali pergi ke negara orang, padahal Ayahnya baru beberapa hari disini. "Ayah udah mau kerja lagi?"

"Iya nak, Ayah tiba-tiba dipanggil sama boss Ayah. Mau nolak takut berdampak sama kinerja Ayah nantinya, terus gak bisa dapet uang buat dikirim ke kamu."

"Ayah hati-hati banyak berdoa selama perjalanan."

Faris mengusap kepala sang putri cantiknya, entah mengapa ia juga merasa berat dengan perpisahan ini. "Kamu juga hati-hati ya jaga diri. Jangan lupa selalu makan, sholat ,sama sekolah yang pinter biar impian kamu bisa tercapai. Jika kamu mengalami kesulitan, jangan mudah menyerah. Jalani terus sebisa kamu, insya allah restu Ibu sama Ayah selalu disamping kamu."

Harum mengangguk dengan senyumana tulusnya, ia memejamkan mata saat mendapat kecupan kening dari sang Ayah. "Ayah pergi, jangan cari Ayah."

Tak kuat, Harum sudah tak kuat. Badannya meluruh isakan yang sejak tadi ia pendam keluar sudah. Hatinya terasa terluka mengingat dirinya sendiri di dunia ini. "Hiks.....Hiks...A-ayah ja-hat!"

Kepergian Ibunya dulu Harum sangat mengikhlaskan karena dirinya tak tega melihat Ibunya terus sakit-sakitan. Tapi ini, Ayahnya yang kuat harus pergi juga dengan sangat mengenaskan.

"SAKIT! Hiks....Harum sa-kit," teriaknya dengan memukul dada yang terasa sesak. Semakin keras raungan itu seakan mengeluarkan semua rasa keluh kesalnya yang ia pendam.

"ARGH! HIKS....Ja-jangan pergi!" Bahkan Harum tak sempat melihat kondisi Ayahnya saat meninggal, bagaimana rupanya di mana dia dimakamkan, rasanya Harum benar-benar tak dianggap anak.

Selama bertahun-tahun dirinya berharap pada sesuatu yang mustahil, mendoakan sang Ayah kembali. "A-aku sendiri,hiks...ka-kalian tega ning-galin Harum hiks."

"Harum!"

Seseorang tiba-tiba datang terkejut melihat kondisi Harum, Bu Ira terdiam dengan Via digendongannya yang meminta turun melihat Aminya.

Bu Ira sejak tadi merasa khawatir Harum tak kunjung pulang menjemput Via setelah pulang sekolah. Wanita itu segera menurunkan Via yang berlari menuju Aminya.

"AMI! Ami kenapa!?"

Dengan isakan yang tersisa Harum mendongak melihat wajah kecil yang selalu membuatnya tertawa, di sampingnya seorang wanita paruh baya berjongkok di depan Harum.

"Istighfar kamu kenapa Harum?" Bu Ira merangkum wajah gadis yang sangat terlihat mengenaskan, mata memerah dengan pandangan kosong.

Dengan segera Bu Ira membawa Harum ke pelukannya, "Istighfar Harum, jangan begini. Tenangin diri dulu ya."

Via yang sejak tadi menangis melihat Aminya bersedih, akhirnya ikut memeluk Harum erat dengan tangan kecilnya. "A-ami hikss...jangan ti-tinggalin Via."

*****

Maaf ya readers kalo apa yang kalian ekspekstasikan tak sesuai harapan :(

Soryy kalau cerita ini kurang melekat di hati pembaca,

Tapi author akan terus update sampai cerita ini selesai kok,

Terimah kasih sama readers yang terus stay di cerita ini :)

Jangan lupa vote bintangnya heheheh

Jangan lupa vote bintangnya heheheh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SALAH RASA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang