52

918 44 0
                                    

"Lo yakin?"

Ditanya seperti itu oleh Angkasa membuat Jeva menjadi ragu. Mungkin karena Angkasa pernah membuatnya sadar akan perasaannya sendiri. Meski bermusuhan, tapi Angkasa kerap kali menjadi sosok kakak yang amat menyayangi adiknya dan Jeva menganggap Angkasa seperti kakaknya juga.

Kedewasaan Angkasa dan kepekaan cowok itu seringkali membuat Jeva merasa ragu akan keputusannya sendiri. Ternyata orang yang ia anggap sebagai musuhnya pun mengerti akan perasaannya.

Sadar tidak sadar, setiap kali ia bertemu dengan Angkasa pasti Jeva tengah berada di titik terendah atau di titik keraguan.

Dan Angkasa secara langsung bisa tahu kelemahan Jeva saat keduanya sering kali bertengkar kecil. Memiliki pikiran dewasa seperti Angkasa, membuat cowok itu mengerti akan sifat Jeva yang sebenarnya.

Dari situlah Angkasa mulai menganggap Jeva sebagai adiknya sendiri. Angkasa yang memang anak semata wayang menjadi senang karena ia bisa memiliki adik seperti Jeva. Rasa ingin melindungi dan senantiasa menguatkan Jeva terus saja membuatnya lebih ingin menjadi kakak yang terbaik.

Seperti sekarang ini. Angkasa yakin Jeva tengah berada di ambang keraguan. Sadar atau tidak, Jeva tengah terlihat sangat murung. Melihat tingkah Jeva yang sudah pernah ia lihat saat smp dulu, ia tahu jika Jeva sedang banyak pikiran.

"Je, gue ke Joya dulu ya! Kamu jagain Jeva, awas aja kalo kalian sampe berantem!"

Angkasa mengangguk singkat sebagai jawaban. Sedangkan gadis di sampingnya nampak bergeming tidak menjawab sama sekali.

Saat melihat Deva yang mulai menjauh, Angkasa langsung menggeser kursinya ke samping untuk lebih dekat dengan Jeva.

Dalam hati Angkasa berterimakasih pada Deva yang ternyata mengerti suasana. Ia memang sadar Deva tengah memperhatikan Jeva.

Tangan Angkasa terulur mengelus kepala Jeva dengan lembut. Kebiasaannya dulu saat menenangkan Jeva yang tengah bimbang.

"Ceritain ke gue, apa yang buat lo ragu?"

Jeva langsung menatap Angkasa dengan tatapan serius. Cewek itu kemudian menundukkan kepalanya, mata Jeva tiba-tiba terasa panas saat mendengar Angkasa mengatakan hal itu.

Akhir-akhir ini tidak ada yang mau bertanya seperti Angkasa. Semua orang menahannya pergi. Meskipun ada yang tidak secara langsung, tapi hal itu membuat Jeva merasa bimbang untuk pergi.

Mata Jeva mulai berkaca-kaca, pandangannya yang tadi jelas sekarang perlahan memburam karena genangan air mata.

"Hiks.." Pertahanan seorang Jevanie Nadeera Lalubis luruh di depan Angkasa.

Angkasa yang tak tega melihat Jevanie yang menangis mulai menepuk pelan pundak Jeva memberi ketenangan.

"Kak, gue capek hiks."

Angkasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangan Angkasa tidak berhenti memberi tepukan pelan pada pundak Jeva.

"Gak ada yang mau nanya sama gue, Je lo baik-baik aja? Gak ada yang nanya kayak gitu ke gue kak, mereka bisanya cuma nahan gue buat tetep disini. Gue capek, gue juga butuh sandaran kak, gue butuh dukungan mereka supaya gue gak ragu kayak gini kak," ucap Jeva sambil terisak.

"Gue juga punya impian, gue tau mereka ngedukung gue tapi tatapan mereka gak ngijinin gue buat ngejar impian gue kak. Mereka gak mau gue pergi, hal itu ngebuat gue jadi ragu buat ngejar impian gue," sambungnya.

Angkasa terdiam mendengar semua keluh kesah Jeva yang cewek itu rasakan Akhir-akhir ini. Ia juga pernah merasakan berada diposisi ini, semua orang pasti pernah merasakan keraguan seperti ini.

"Je, dengerin gue. Mereka cuma khawatir sama lo dan gak mau jauh dari lo. Gue tahu itu hal yang membebani bagi diri lo, gak mereka aja. Lo pasti ngerasa gak bisa jauh dari mereka kan? Tapi Je, inget satu hal. Mereka selalu dukung lo, apapun keputusan lo meskipun mereka gak mau lo pergi. Kalo lo emang bener-bener yakin mau ngejar impian lo, jangan mikirin orang lain oke? Fokus sama impian lo yang udah ada di depan mata. Mana Jeva yang selalu bodomat sama orang lain? Mana?!"

Tanpa berkata, Jeva langsung memeluk Angkasa dengan erat. Jujur saja apa yang Angkasa katakan semuanya benar. Ia seharusnya fokus pada tujuannya sejak awal, ia seharusnya tidak perlu memikirkan orang lain karena mereka sudah mengatakan akan mendukungnya.

Pemikirannya sendiri berhasil membuatnya merasa ragu berlebihan. Ia jadi bertekad untuk membatalkan pendaftarannya ke London. Namun karena curhat pada Angkasa, ia mendapat secercah harapan untuk tetap melanjutkan mengejar impiannya.

"Thanks kak, lo emang paling ngerti diri gue ini," ucap Jeva dengan suara serak habis menangis.

Jeva memang akan memanggil Angkasa dengan embel-embel kak ketika Jeva tengah curhat pada cowok itu. Jika sudah seperti biasanya, ia akan tetap memanggil Angkasa dengan sebutan bulol atau poslol.

Angkasa tersenyum tipis, namun kemudian senyumannya berubah menjadi senyuman meledek.

"Harusnya dari dulu lo bilang makasih sama majikan lo," ujar Angkasa.

Jeva yang tadinya memeluk Angkasa langsung melepas pelukannya. Mata sembab Jeva langsung menatap Angkasa dengan tatapan tajam.

"Gak sudi!"

Angkasa tertawa melihat wajah kesal Jeva. Setidaknya meskipun merasa sedih, ia bisa membuat Jeva kembali seperti tadi dengan meledeknya.

Jeva memang merasa kesal, tapi ia tentu harus berterimakasih pada Angkasa. Ia tahu bahwa laki-laki itu ingin Jeva seperti biasanya, tidak lagi bersedih seperti tadi.

'Thanks Aksa..'


















Pendek lagi? Iya kayak kisah kita.
Btw sorry part sebelumnya dan sekarang pendek, mungkin di beberapa part juga. Jujur mau lanjutin tapi udah dari awal sebelum cerita ini dipublish, udah kayak gitu. Jadi baca aja sekalian jangan lupa votemennya, bagi pembaca yang cuma baca doang tapi gak ngevote gak papa aku tetep sayang sama kalian. Tapi, lain kali biasakan untuk votemen yaa:) buat yang udah vote makasi banyak lohh, aku sayang kalian banyak-banyakk!!

2J [Jeva dan Jevian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang