3. Kawan Lama

530 59 230
                                    

Hari itu cuaca cerah di musim kemarau. Bulan Juli yang panas, sebetulnya. Namun tidak menyurutkan semangat Akasma melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Memilih aneka sayur, buah, daging, dan camilan kesukaan anggota keluarga. Juga beberapa kebutuhan rumah lain seperti peralatan kebersihan. Akasma hanya pergi berbelanja kebutuhan begini satu kali dalam sebulan. Jadi cukup banyak yang dibeli, dan tahu, apa saja yang harus dibeli. Ia membuat catatan khusus sebelum pergi. Usai memenuhi satu troli dengan satu jenis belanjaan, ia mendorongnya ke kasir, menitipkan dulu, baru kembali mengambil belanjaan lain dengan troli lain. Lumayan sih jadinya, seperti orang kulakan barang buat dijual lagi.

Ketika sedang mengantri di kasir dengan tiga troli penuh belanjaan, ada seorang wanita seusianya menyapa. Ia juga membawa satu troli belanjaan, tapi tidak penuh.

"Akasma, ya?" sapa wanita itu dengan perasaan yang sangat gembira.

Akasma mencoba mengenali sebentar, lalu ikut gembira menyapa balik. "Mbak Rosana?"

Keduanya langsung cipika-cipiki, dan saling berpelukan.

"Astaga! Aku gak menyangka, bisa ketemu kamu di sini, Kas!" Rosana sangat antusias.

"Aku juga, Mbak. Ya ampun, ini bener-bener kejutan." Akasma juga tidak kalah antusiasnya.

Seusai mengurusi belanjaan masing-masing, Akasma dan Rosana mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Yaitu sebuah kafe di dalam pasaraya ini. Mengobrol sambil menikmati minuman yang mereka pesan. Akasma memesan segelas es kopi vietnam, sedangkan Rosana es teh melati saja.

"Jadi, bagaimana kabarmu selama ini, Kas?" tanya Rosana, setelah menyedot sedikit es tehnya.

"Kabarku baik, Mbak. Masih begini-begini aja dari dulu. Mbak gimana? Mas Ramadhan, apa kabar?" Akasma balik bertanya.

Rosana berhenti tersenyum. "Aku sih baik. Juga sehat-sehat saja. Tetapi Mas Ramadhan, dia udah meninggal dunia lima tahun lalu."

"Innalillaahi, aku turut berduka, Mbak." Akasma menggenggam tangan Rosana. Berusaha menguatkan sahabat lamanya ini.

"Gak papa, Kas. Udah lama terjadi. Aku sudah terbiasa. Demi anakku, Adrian." Lalu Rosana tersenyum. "Kamu sendiri bagaimana?"

"Seperti yang kubilang tadi, aku baik-baik aja. Mas Jamal, kedua putriku juga semuanya sehat." Lalu Akasma menerawang. "Gak terasa ya, sudah dua puluh tahun berlalu. Sejak dulu Mbak Ros dan Mas Ramadhan memutuskan pindah ke Amerika karena pekerjaan, sekarang kita bertemu di usia separuh abad begini. Aku seneng, Mbak."

"Oh, aku baru tahu nih, kalau anakmu dua. Dulu 'kan hanya satu. Siapa namanya?" Rosana coba mengingat-ingat. "Syahlana, bukan sih?"

"Bener," jawab Akasma. "Syahlana adalah putri sulungku. Adiknya lahir saat dia berusia lima tahun. Namanya Zivara. Sekarang kuliah di Universitas Swasta Jakarta, ambil hukum, kayak aku dulu."

"Trus, Syahlana sendiri apa kabar? Sudah menikah?" Rosana ingat, anaknya Akasma yang bernama Syahlana itu waktu kecil menggemaskan, dan sekolah di TK yang sama dengan Adrian. Ia dan Akasma kenal karena sama-sama wali murid bagi anak masing-masing. Juga, anak-anak mereka sangat akrab.

"Syahlana sekarang berprofesi jadi chef, punya restoran sendiri. Kapan-kapan aku ajak Mbak ke sana." Menceritakan profesi putrinya yang terbilang sukses, ada kebanggaan tersendiri bagi Akasma. Tetapi soal asmara putirnya itu. "Soal menikah... Gimana ya, Mbak. Putriku itu terlalu pilih-pilih soal calon suami. Trus keasyikan kerja, jadi hampir gak pernah ngurusin soal itu. Aku dan Mas Jamal udah kehabisan kata-kata soal debat beginian sama dia." Akasma jadi curhat.

"Kamu sih mending, Akasma," kata Rosana. Seolah berlomba siapa yang paling sengsara, ia menceritakan tentang menantunya. "Nah aku? Adrian sudah menikah, punya istri. Dua tahun, aku nunggu pengen momong cucu, eh, malah kena penyakit apa sih kemarinnya itu? Sampe rahimnya harus diangkat. Mana Adrian cuma satu-satunya anak yang aku miliki. Bener-bener bikin pusing tujuh keliling, deh."

Cinta Istri Muda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang