27. San Bertanya

279 43 136
                                    

Masih di Bandung.

Walau telah lewat seminggu semenjak Jamal meninggal dunia, suasana duka tidak bisa hilang begitu saja. Bagi Akasma sebagai istri, juga Syahlana dan Zivara, anak-anak mereka. Sementara itu, San. Mungkin karena masih kecil, dirinya belum mengerti dengan semua yang terjadi. Ketika maman-nya, beserta tante dan grand-mere-nya sibuk dengan pengajian yang rencananya akan digelar sampai empat puluh hari itu, San lebih banyak bersama David. Syahlana terpaksa meliburkan restorannya. Lia, Juki, dan Gala diminta membantu untuk pengajian ini.

"Oncle, kenapa manusia bisa meninggal?" tanya San.

"Itu sudah ketentuan dari Tuhan, sih. Setiap makhluk yang bernapas, suatu saat pasti akan mati." David menjawab, seperti yang pernah ia dengar di ceramah-ceramah.

"Kalau dikubur, grand-pere gak bisa napas dong ya?" San masih saja bertanya.

David tersenyum. "Yang dikubur hanya jasadnya, badannya. Roh grand-pere sudah sama Tuhan. Bahagia di sisi-Nya."

"Hmm... Tuhan itu ada di mana?" tanya San. Dengan polosnya lantas berkata, "San mau ke sana. Nanti San bisa main sama grand-pere."

Kali ini, David bingung mau jawab bagaimana.

Datanglah Syahlana jadi penyelamat. "San, Maman sudah bilang, panggilnya Opa atau Oma. Kenapa masih berbahasa Perancis?"

"Yah, San kebiasaan, Maman. Susah mengubahnya." San menjawab dengan polos.

"Mulai hari ini, Maman tidak ingin dengar kamu memanggil mereka dengan sebutan dalam Bahasa Perancis. Oke?"

San mengangguk. "He em."

"Ya udah. Ayo, waktunya belajar. Tadi Tante Zi sudah menelepon guru kamu, Bu Zoya, menyampaikan materi pelajaran yang kamu lewatkan."

San mengagguk lagi. Tangannya digandeng oleh sang ibu.

Di dalam kamar, San duduk menghadap sebuah meja kayu yang telah disulap jadi meja belajar untuknya. Ada beberapa buku sekolah dan peralatan tulis. Ditemani Syahlana di dalam kamar yang sama. Bedanya, Syahlana sedang berteleponan dengan Ilham. Bicara tentang toko pastri mereka.

"Ya, beginilah. Kami semua baik-baik aja, kok. Gak papa." Sepertinya Ilham menanyakan kabar San. Syahlana pun berkata, "Dia lagi ngerajakan tugas sekolahnya. Kamu mau bicara dengannya?" Lalu, ia memanggil San. "San, Oncle Amy mau bicara sama kamu."

San senang. Ia pun mendatangi ibunya. Ikut bicara dengan Ilham lewat telepon. "Oncleee!"

"San! Bagaimana kabarmu di sana?" tanya Ilham.

"San baik, Oncle. Sehat," jawab San.

"Oncle kangen sekali sama San yang menggemaskan ini," kata Ilham.

Maka, San pun bertanya, "Kapan Oncle akan datang ke Jakarta, dan bermain lagi bersama San?"

"Itu sih, tergantung izin dari Maman," jawaban Ilham menggantung.

Lalu, San menoleh pada ibunya. "Maman, kapan Oncle Amy boleh datang ke Jakarta, dan main sama San?"

Dengan bijak, Syahlana berkata, "Nanti, kalau Oncle Amy sudah tidak sibuk, yah."

Masih seperti bocah pada umumnya yang memiliki banyak keingintahuan, San bertanya lagi kepada sahabat ibunya itu. "Oncle, kapan Oncle tidak sibuk?"

Ilham tertawa. Sifat dan sikap San selalu menggemaskan baginya. Ia pun berkata, "Nanti. Oncle akan atur pekerjaan di sini dulu. Lalu Oncle akan datang menemui San dan Maman. Oke?"

"Oke!" sahut San.

Di dapur, David, dengan dibantu Juki, Lia, dan Gala, memasak untuk makanan tamu pengajian malam ke delapan ini. Pria itu sudah bertekad akan bantu-bantu di sini sampai selesai. Ia tidak membiarkan Akasma yang sudah berduka, masih harus kelelahan menyiapkan pengajian.

Cinta Istri Muda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang