43. Sesampainya di Paris

160 5 0
                                    

Pesawat mendarat di Bandara Charles de Gaulle, Paris, Perancis pada malam hari. Hujan gerimis seolah menyambut kedatangan Syahlana kembali di kota pusat mode dunia ini.

Sesampainya di lobi bandara, Syahlana segera memeriksa jam. Beda enam jam antara Jakarta dan Paris. Ia coba menghitung-hitung waktu.

"Kamu ngapain, Sayang?" tanya Adrian.

"Aku mau telepon anak-anak," jawab Syahlana.

"Nanti aja. Setelah hilang capek kita, baru telepon mereka," saran Adrian. "Lagian jam segini, di Jakarta udah malam. Mungkin mereka juga udah tidur."

"Iya juga, sih." Syahlana rasa, Adrian ada benarnya. Entah kenapa, tiba-tiba Syahlana kepikiran San. Semoga saja sang anak lelaki tidak berbuat nakal dan menimbulkan masalah. "Ya udah. Ayo, kita ke apartemen aku dulu."

Mereka pun berjalan menuju keluar dari bandara ini, dan Syahlana memanggil sebuah taksi. Sang sopir membantu Adrian memasukkan tas koper mereka ke bagasi.

"Emmenez-nous à la défense (Antarkan kami ke La Defense)," kata Syahlana, ketika ia dan Adrian sudah di dalam mobil.

"Oui, Madam. (Baik, Bu.)" Si sopir pun tancap gas.

Bagi Syahlana, pemandangan kota Paris sudah biasa. Beda dengan Adrian, yang sesekali memotret. Entah gambar seperti apa yang bisa ditangkap dengan kecepatan mobil seperti ini.

"Di apartemen kamu ada siapa aja?" tanya Adrian.

"Gak ada siapa-siapa," jawab Syahlana. "Selama ini aku hanya tinggal sama San. Sejak San di Jakarta, aku jadi tinggal sendirian."

"Sewa atau beli?" Adrian terus saja menanyakan hal yang tidak penting.

Namun Syahlana dengan sabar menjawabnya. "Beli. Lumayan untuk aset. Mungkin di masa depan nanti, aku atau San, akan pulang pergi Jakarta-Paris. Jadi gak perlu sewa hotel, kan? Sesekali, Ilham panggilkan housekeeper untuk bersih-bersih."

"I-ilham?" Adrian kurang nyaman mendengar nama itu.

"Mas, jangan mikir yang aneh-aneh, deh. Di kota ini, di mana aku gak punya keluarga atau teman selain Ilham, kamu berharap aku nitipin apartemen sama siapa? Hanya dia yang bisa dipercaya." Syahlana merasa harus memberi pengertian pada Adrian.

Adrian tersenyum. "Iya, iya. Aku ngerti, kok."

Beruntung, apartemen Syahlana cukup bersih, sehingga sesampainya di sana tidak perlu melakukan kegiatan bersih-bersih yang melelahkan. Adrian melihat interior dan penataan perabotnya, memang sesuai dengan selera sang istri muda. Ia melihat beberapa hiasan dinding berupa foto-foto San. Lalu tumpukan kotak berbungkus kertas aneka warna-warni.

"Sayang, ini apa?" tanya Adrian.

Syahlana menghampiri Adrian, membawakannya secangkir kopi buatannya. Memberikannya pada sang suami. Ia melihat apa yang pria itu tunjuk. Syahlana tersenyum. "Itu kado ulang tahun yang aku siapkan untuk Aurora setiap tahun."

Adrian juga tersenyum. "Rupanya, kita melakukan hal yang sama selama beberapa tahun ini."

Syahlana cukup terkesan. "Kamu juga?"

Adrian mengangguk. "Untuk Hassan."

"Nanti, aku akan membawa semua kado itu ke Jakarta, untuk Aurora," kata Syahlana.

"Aku juga akan memberikan semua kado yang aku siapin untuk San," sambung Adrian.

Hari itu, mereka berdua lebih dulu beristirahat, menghilangkan penat perjalanan antar benua yang begitu memeluk erat. Adrian merasa, meski mereka ke depannya masih akan disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, tetap saja, perjalanan ke salah satu negara paling indah di Eropa ini, serasa bagai berbulan madu untuk kedua kalinya. Ia membiarkan sang istri menyandarkan kepala di dadanya, dan berbantal lengannya. Sekilas, Adrian melihat sesuatu berkilau di leher sang istri. Bukankah itu kalung yang dulu ia hadiahkan saat bulan madu pertama di Singapura? Setelah mbangun nikah, inilah pertama kalinya Adrian melihat kembali kalung itu. Sangat membahagiakan.

Cinta Istri Muda [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang