Meskipun bel sekolah berbunyi beberapa menit lagi, Ercy sempat mampir ke minimarket untuk membeli apel. Dia juga membeli beberapa cemilan lalu memasukkan nya ke dalam ransel. Benar saja, ketika sampai di sekolah gerbang sudah di tutup rapat.
Gadis itu bersenandung pelan sambil menggigit apelnya, berjalan memutar pagar. Ketika dia sampai pada bagian tersembunyi, dengan mudahnya gadis itu melompat dan memanjat pagar, menolak sadar jika dia adalah perempuan yang sudah memiliki satu anak dan harus menjaga etika dalam berperilaku. Ercy melompat ke seberang pagar, tanpa melihat dulu tempat nya akan mendarat.
Di udara, segalanya seakan slow motion. Ercy melotot ketika melihat sosok yang di hindari nya berdiri di bawah bersama dua orang lainnya.
"Awas!" Teriak Ercy dan ketika sosok itu menoleh ke arahnya, sudah terlambat.
Ercy menghantam tubuh lelaki itu dan keduanya terjatuh di atas tanah.
Kedua teman yang bersama lelaki itu meringis melihat kondisi keduanya saat ini. Ercy mengutuk dalam hati, mendongakkan kepalanya, "maaf! Aku tidak sengaja, Xaviero!"
Wajah Xaviero benar-benar mengerikan, kehilangan ketenangannya yang biasa dia jaga. Wajah itu memerah, bukan karena tersipu, tapi menahan amarah. Tatapan matanya semakin tajam seakan bisa membunuh orang di depannya. Ercy bisa membaca tatapan itu, dan dia tidak mungkin salah.
"Menjauh dari tubuh ku." Perintahnya dengan nada dingin. Ercy merasa menggigil mendengar nada yang dia keluarkan, sangat berbeda dengan nada hangat yang biasa dia keluarkan pada Lumine.
"Maafkan aku, sungguh, aku sudah memperingatkan mu untuk menjauh." Ercy panik, dia memeriksa bagian-bagian tubuh Xaviero yang berpotensi terluka karena dia hantam.
Xaviero mencengkram tangan Ercy yang seakan tengah meraba-raba tubuhnya, dia mengendalikan emosinya, menghela nafas panjang dan kembali berujar, "turun dari tubuh ku."
Ercy sadar dengan posisi mereka saat ini. Xaviero terbaring di tanah dengan Ercy yang menimpa tubuhnya. Ercy buru-buru bangkit, sesekali memijat sikunya yang berdenyut kerena menghantam tanah demi menjaga keseimbangan agar wajahnya tidak terbentur dengan wajah Xaviero. Omong-omong tadi nyaris saja.
Sikunya ngilu dan perih, tapi untuk kali ini Ercy lebih merasa terancam oleh tatapan ganas di hadapannya.
Seorang lelaki yang bersama Xaviero terlihat menahan tawa dan membantu nya berdiri. Wajah Xaviero masih terlihat tidak mengenakkan, dan bahunya di tepuk ringan oleh lelaki satu nya yang lebih pendek. "Jangan marah, Xavi, dia tidak sengaja."
"Tapi berani juga ya, seorang gadis melompati pagar begini bahkan menabrak ketua OSIS. Kau benar-benar punya nyali, Aileen."
Kalau tidak salah ingat, kedua lelaki ini adalah sahabat dekat Xaviero. Meskipun dingin tak tersentuh, Xaviero tetap memiliki sahabat di sisinya. Seharusnya mereka bertiga, tapi salah satu dari mereka, sekaligus teman masa kecil Xaviero sedang berada di luar negeri saat ini.
Yang setinggi Xaviero dan memiliki rambut bergelombang berwarna pirang bernama Eric, sementara yang lebih pendek dan berambut cokelat bernama Viole.
"Maaf." Ercy melihat ke manapun kecuali wajah Xaviero. "Aku telat."
"Sudah berani telat, melompati pagar. Kau harus mendapat hukuman." Katanya dingin.
"Yah, baiklah. Toh aku salah." Ercy meringis, meratapi nasib. "Tapi tolong jangan membersihkan toilet, aku lebih memilih di hukum berlari atau berdiri di lapangan."
Tatapan Xaviero semakin tajam. "Apa? Masa aku tidak boleh protes? Aku sendiri pun masih berhak meminta keringanan bukan?"
Eric tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk bahu Viole yang menaha tawa. "Sungguh ternyata rumor benar adanya. Gadis ini benar-benar berubah! Sifat tidak tahu malunya masih sama, tapi yang ini lebih menggelikan."
"Maaf?" Ercy menyipit, tidak terima di bandingkan dengan Aileen dalam hal kejelekan.
"Bersihkan perpustakaan, semuanya." Putus nya.
Mata Ercy melebar. "Hah?! Maaf saja pangeran, tapi jika begitu apa gunanya penjaga perpustakaan yang sudah di gaji sekolah?! Aku murid, bukan babu!"
Tapi Ercy ciut ketika mendapat tatapan 'protes lagi ku tambah hukumannya'.
Tiba-tiba Viole mendekat dan mengendus Ercy. Gadis itu mengerutkan keningnya dan sedikit menghindar, "kenapa? Apa yang salah?"
"Bau mu seperti Xavi." Viole kembali mengendus, "persis sama. Kau menggunakan parfum yang sama?"
Ercy merasakan tubuhnya panas ketika tiga tatapan mata dari orang berbeda terarah padanya, penuh curiga.
Ercy serasa seperti sedang di pergoki maling mangga tetangga. Berasa kayak kriminal lagi keciduk.
"Uhm... Yah... Aku sebenarnya punya alasan." Entah untuk alasan apa Ercy merasakan wajahnya memanas.
"Sifat penguntit nya tidak akan pernah hilang apapun rumor yang beredar," Xaviero menatapnya remeh.
Darah Ercy seakan mendidih karena marah. Penguntit? Dia?! Enak saja!!!
"Bukannya menuduh seorang gadis menguntit sedikit keterlaluan? Apakah pelajaran etika di istana masih kurang lengkap?" Ercy berkata tajam, mendapatkan pelototan tidak percaya dari ketiga orang itu.
"Kau..." Xaviero menggertakkan giginya kesal.
Eric menengahi perdebatan yang mulai intens itu, "baik! Cukup sampai disana! Berhenti bertengkar sebelum kalian mulai saling menjambak satu sama lain."
Eric meringis dan tertawa jahil sambil bersembunyi di belakang Viole ketika Xaviero menatap nya lebih tajam. "Berhenti mencari masalah dengan ku Aileen." Peringat nya. "Aku sudah cukup mentoleransi setiap perilaku kurang ajar mu, jika kau kelewatan aku tidak akan bisa menahan nya lagi."
"Baik, terima kasih atas kemurahan hatimu." Ercy mengangkat bahu, "tapi aku tidak membuat masalah, omong-omong." Ercy mengabaikan tatapan menusuk Xaviero.
"Lalu kenapa pakai parfum yang sama? Apa kau seorang maniak?" Tanya Viole.
Mata Ercy melotot, "enak saja! Aku begini karena ada alasan nya. Itu karena Leo!"
Tubuh Xaviero menegang mendengar nama itu. Bayi yang semalam berada dalam gendongannya.
"Leo tidak berhenti menangis, dia bahkan tidak bisa tidur dan merengek meraung sepanjang malam. Lihat kantung mataku, menghitam seperti panda." Eric mendekat dan mencondongkan wajahnya untuk meneliti kantung mata itu, lalu berkomentar.
"kau benar, itu terlihat buruk."
"Tuh kan!" Ercy menyetujui. "Aku khawatir dia akan radang tenggorokan karena menangis." Ercy menunjuk Xaviero, "itu karena dia. Naluri Leo mengarahkan bayi itu untuk selalu berkeinginan dekat dengan ayahnya. Karena itu aku kerepotan, karena Xaviero menggendong anakku semalam, dia tidak bisa melupakan aroma Xaviero!"
Viole mengangguk-angguk paham dengan tangan di dagu, sok berpikir keras, "kau benar sekali, bayi bisa mengingat aroma dan sentuhan ayahnya."
"Aku setuju lagi!" Ercy antusias.
"Lalu kau memakai parfum Woodie seperti Xavi untuk berkamuflase dan menipu bayi mu agar bisa tidur."
"Hey! Kau benar sekali!" Keduanya bertos ringan, mengabaikan tatapan Xaviero yang segelap badai di malam hari.
"Aku juga memiliki keponakan perempuan. Dia kehilangan ayahnya di usia satu tahun setengah dan dia tidak berhenti menangis berhari-hari hingga harus di rawat di rumah sakit." Viole menimpali, mendekat ke arah Ercy.
Ercy: "Kasihan sekali, sekarang bagaimana keadaannya?"
Eric: "Oh kau sedang membahas Kanna ya, sudah lama aku tidak jumpa."
Dan omong-omong kenapa pula Eric dan Viole malah akrab dengan Ercy? Mengherankan memang. []
TBC
Chapter ini terasa pendek, tapi sejujurnya ini udah 1k kata lebih. Kalau sempat secepatnya aku bakal update ^^
Terima kasih buat yang sudah komentar, maaf ga bisa balas satu-satu, jadi aku terima kasih dari sini aja. Makasih juga yang udah vote ><
Sampai jumpa di next chapter!!!
Tertanda
IchaSunny
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigration Freak!!! [END] ✓
Teen FictionElora Raneysha hanyalah seorang mahasiswi semester akhir yang hampir menyelesaikan skripsinya. Namun dia harus mati mengenaskan karena keselek tahu goreng yang diam-diam dia comot. Dan ketika dia membuka mata, dia mendapati dirinya masuk ke tubuh se...