He is Al Fatih

13 2 4
                                    

Kolaborasi by: AlmayNadia15 (Teenfict) & @HlriudiumSeagull (Romance)

Aku terbangun karena mendengar suara bising dari luar. Begitu memastikan nyawaku sudah terkumpul sepenuhnya, kuseret kaki menunju pintu depan yang sedikit terbuka sambil bertanya 'ada apa?' dalam hati.

Daun pintu sudah berhasil kuraih, dan suara itu semakin jelas terdengar. Aku masih menelusuri koridor yang beralaskan kayu untuk mencari sumber suara. Otakku berusaha keras mengingat tempat yang aku pijaki saat ini. Sebuah rumah yang setiap kamarnya saling menyatu hingga membentuk persegi panjang.

Di setiap biliknya terbuat dari kayu yang entah apa aku tidak tahu namanya. Ada banyak lukisan kaligrafi dari masa Osman Gazi yang pernah kutonton filmnya, berjejer di setiap sudut. Sangat sederhana namun terlihat luar biasa.

Derap langkah kupercepat begitu suara sayatan pedang menembus ke telinga. Aku merasa puas ketika rasa penasaran akan suara itu terbayar. Dari balik pintu utama, aku bisa melihat beberapa orang sedang beradu pedang. Aku ingin menghampiri, namun tangan seseorang memegang pundak ku.

Aku berbalik. Bola mataku seperti akan keluar ketika melihat sosok yang berdiri di sampingku. "Kau? Bukannya?"

"Akhirnya, kau sudah bangun, Ali."

Dia tahu namaku? Bagaimana bisa? Sungguh. Aku masih belum percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Sejak usiaku resmi 17 tahun, aku mengidolakan putra dari pasangan Sultan Murad II dan Huma Hatun agar bisa menjadi seperti dirinya. Berhasil menjadi penakluk kekaisaran Romawi Timur ketika berusia muda. Namanya yang melegenda, selalu kusebut, agar bisa bertemu walau dalam mimpi.

"Mari ikut denganku. Katanya kau ingin membantuku menaklukkan benteng itu." Ia menunjuk ke arah bangunan kokoh di sebrang laut Borporus. "Ali, aku tau kau masih sangat muda, tapi bukankah di usia itu aku bisa membuktikan janji Nabi?"

Aku mengangguk. Meski masih bingung namun kesempatan ini tak ingin kusia-siakan. Begitu melihat matanya, aku bisa merasakan semangat membara di sana. Semangat seorang pemuda yang bernama Sultan Mehmed II. Sebuah nama yang abadi dalam sejarah. Dialah Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel.

Ruangan yang tadinya dipenuhi para pemimpin pasukan, kini kosong meninggalkan aku dan Sultan Mehmed II disana. Pertemuan diskusi tadi tidak membuahkan hasil.

Beliau termenung. Ada sedikit rasa menyesal yang dapat kurasakan dalam hati, melihat aku tidak berguna disaat ini.

"Wahai Sultan, apa yang anda pikirkan?" Ucapku berhati-hati, khawatir membuatnya tak nyaman dengan pertanyaanku yang masih mencerna situasi.

Ia menoleh tersenyum simpul yang tampak lelah.

"Aku berpikir, kota itu akan memberikan modal terpenting untuk Kekaisaran Ustmani, Ali. Bila kita bisa menaklukkannya, itu akan menjadi hadiah utama terbesar. Jika saja kita mendapatkan strategi menghancurkan tembok-tembok kuat disana..."

Sultan lagi-lagi menghela napasnya.

"Apakah aku bisa menggapai impianku mewujudkan sabda nabi Muhammad saw? Aku begitu dambakannya."

"Tentu saja kau akan bisa mewujidkannya. Namamu akan tercatat didalam sejarah dengan segala perjuanganmu. Tidak ada sedikitpun keraguanku kepadamu, wahai sultan-ku!" Sahutku menggebu-gebu.

Tawa kecil berdesis dibibir pria itu. Ia berdiri dari kursinya dan menepuk pundakku. "Semangat muda memang sangat menggairahkan. Terima kasih telah mengucapkan hal itu, Ali. Beristirahatlah, aku akan berdiam sedikit lebih lama disini."

Aku mengangguk pelan dan pamit pergi. Dalam perjalanan, seorang wanita memanggil namaku.

"Wahai, Ali. Kenapa wajahmu muram? Bukankah mimpimu bertemu dengannya telah terwujud?"

Aku tersenyum menyambut kehadirannya. Entah kenapa, hatiku terasa damai. Aku lalu bercerita."Sepertinya Sultan dalam kesulitan. Dia tampak khawatir."

Wajah cantik nan teduhnya tersenyum. "Kalau begitu kau bisa membantunya. Ini ambilah."

Ia menyodorkan sebuah keranjang beraneka macam buah padaku.

"Aku membelinya dari pedagang yang kembali dari Edirne, kota di seberang utara Selat Bosporus itu. Mungkin ini bisa membantu." Jelasnyanya sebelum melambai pergi meninggalkanku yang kebingungan.

Aku kembali ke rumah yang setiap kamarnya saling menyatu tadi. Lagi-lagi kusapukan pandangan ke setiap sudut  lukisan kaligrafi dari masa Osman Gazi yang pernah kutonton filmnya itu.

Tunggu, Edirne? Astaga, benar!
Edirne dan meriam! insinyur dari Brassó, Transylvania, Kerajaan Hongaria, insinyur Orban! Bagaimana aku bisa melupakannya?

Aku berlari kembali menemui Al-Fatih. Melihatku terengah, ia memandang penuh tanya.

"Kota Edirne. Seseorang yang bisa membantu kita ada disana, Sultan! Seorang insinyur dengan meriamnya yang dahsyat!"

Aku menceritakan apa yang kuketahui, hal itu membuat sang al-Fatih langsung mengambil gerakan, dan kedatangan Orban-pun disambut dengan baik.

Beberapa waktupun terlewati. Kini sebuah meriam raksasa bernama 'The Muhammad's Greats Gun' tampak didepan mataku.

Al-Fatih menepuk bahuku sembari mengangguk. Tatapannya yang penuh semangat membara, tampak tak pernah punah.

"Terima kasih telah membantuku. Pergilah beristirahat." Ucapnya. Aku tersenyum dan mengangguk kepada Sultan Mehmed II, sang Al-fatih, idolaku.

Saat tiba dikamar, aku berbaring dan menutup mata. Sebuah elusan lembut dikepala membuatku terjaga.

Sebuah senyum indah menyambutku.

"Apa kau sudah bangun? Tidurmu nyenyak sekali, Suamiku." Ucapannya membuatku bangun lalu memeluknya erat.

"Khaira, aku bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Disana aku menyaksikan perjuangan dari orang yang kuidolakan." Bisikku padanya.

"Mhh? Benarkah?" Sahutnya antusias.

Sepanjang pagi cerah dengan mentari yang menyelinap dibalik jendela kamar kami, menjadi saksi cerita indahku kepada istriku.

"Ah, kau tau apa yang lebih indah lagi?"

"Apa itu?"

"Aku bertemu bidadari cantik disana. Bidadari yang membantuku. Bidadari itu adalah kamu." Ucapku padanya.

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang