Kala

1 0 0
                                    

Kolaborasi by: sid_safta (Historical Fiction) & AlmayNadia15 (Teenfict)

Sial!

Bibir Enes terus misuh-misuh saat teman-temannya tak kunjung datang. Kesal, Enes pun memutuskan untuk masuk terlebih dulu ke museum Trowulan, setelah menunggu hampir tiga puluh menit di kolam Segaran yang berada di seberang museum Trowulan.

Meski sudah ketiga kalinya mendatangi Trowulan, rasanya tidak membosankan  baginya. Memutari museum hampir satu jam pun seakan tidak terasa. Baru setelah ia keluar dan melihat beberapa arca di teras museum, kaki Enes mengenai sebuah kepingan dari tembaga. Enes pun mengambilnya dan melihat bahwa logam tersebut memiliki ukiran yang mirip dengan Kala--yang biasanya berada di atas gerbang candi-candi Majapahit. Tanpa pikir panjang, Enes mengambilnya dan membawanya pulang.

Beberapa jam setelah berada di rumah, Enes merasakan bahwa tubuhnya terada berat terutama di bagian tengkuk lehernya. Seperti ada beban yang tengah digendongnya. Ia berusaha memijit-mijit daerah pundaknya dan menelengkannya, tapi rasa pegal dan berat itu masih belum juga reda.

Enes yang merasa kehausan, akhirnya pun bangkit dari kasurnya dengan menyeret langkah yang terasa malas. Tubuhnya seakan tidak bertenaga. Saat melewati kaca yang jadi satu di pintu lemari, Enes merasakan bulu kuduknya meremang. Bulu-bulu halus di sekitar lengannya berdiri. Enes berusaha mengalihkan pikirannya, tapi rasa penasarannya yang besar, memnuat Enes malah memundurkan langkah dan melirik ke arah kaca

***

Jantungnya berdegup kencang seakan sedang berlari. Ia berusaha memejamkan matanya, namun suara desisan dari belakang dan tepat di telinga kanannya, membuat Enes semakin mematung. Sosok tinggi, hitam dengan taring yang tajam dan panjang, sedang bergelayut di punggungnya. Matanya yang melotot merah dan tajam begitu menakutkan.

"Jangan noleh!" Enes berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Setelah mengucapkan kalimat penguat berulang kali, Enes berusaha menarik kakinya dan berlari ke luar rumah. Setidaknya untuk menghilangkan rasa takut dan terkejut bersamaan.

Petang sudah menjelang ketika Enes tertatih di depan gerbang rumahnya. Dengan napas yang ngos-ngosan, Enes menekuk kedua lututnya untuk mengatur sirkulasi udara di paru-paru. Dengan was-was, ia memberanikan diri untuk melihat ke belakang.

"Sial! Makhluk itu masih mengikutiku," gerutunya dalam hati. Enes segera mengalihkan pandangan ketika sosok itu kembali menyeringai di depan pintu, beberapa meter dari tempatnya berdiri.

Tak mau mati mengenaskan seperti di film-film horor yang pernah ia tonton, Enes kembali menarik kakinya yang masih terasa berat ke mobil. Dengan sekejap, ia sudah melajukan mobilnya ke menuju rumah Adrian, temannya. Cowok itu kembali mengumpat begitu melihat sosok itu duduk di kursi belakang.

"Adrian! Adrian!" panggil Enes dengan suara keras, tangannya sudah bergetar hebat.

Pemilik rumah kayu itu segera membuka pintu. Dia juga tak kalah terkejut melihat temannya yang sudah pucat dan ngos-ngosan, seperti habis lari maraton sepuluh kilometer.

"Kenapa?"

Enes langsung menceritakan kejadian yang dialaminya. Sejak kembali dari museum Trowulan sampai diikuti sosok menyeramkan. Tak lupa, Enes juga menceritakan tentang kepingan tembaga yang ia temukan di tempat itu.

"Kita harus kembali ke museum," simpul Adrian setelah mendengar cerita Enes.

"Gila lo! Ini udah mau malem. Kalau makhluk itu bunuh gue di sana, bagaimana?"

"Kita harus mengembalikan kepingan yang kamu temukan itu. Firasatku mengatakan, kalau makhluk itu adalah kepingan yang kamu bawa pulang. Mungkin saja, itu penjaga museumnya."

Enes segera mengiyakan. Mereka kembali ke museum dan meletakkan kepingan itu di tempat semula. Benar saja, tubuh Enes sudah tidak melihat sosok itu lagi. Namun, tubuhnya masih terasa berat.

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang