Di Jembatan Merah

9 1 0
                                    

Kolaborasi by: ichaaurahmaa (Romance) & Sky_1125 (Romance)

Aku berpikir, setelah Ir. Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, keadaan akan berubah. Aku membayangkan, setelah merdeka, kami, rakyat Indonesia akan menjalani hidup yang berbeda. Menjalani hari-hari dengan tenang, damai, tanpa harus dihantui rasa takut akan suara senjata dari musuh, dan kematian yang datang tiba-tiba karena dibunuh oleh pasukan bersenjata. Namun, pada kenyataannya, hidup kami masih sama. Kami masih harus berhati-hati, tidak bisa membebaskan diri. Karena jika kami melakukan kesalahan sedikit saja, peluru itu bisa langsung menembus kepala.

“Ada apa, Mas?” tanyaku saat melihat Mas Herman, suamiku terlihat gusar.

“Nduk, di mana seragamku?”

‘Nduk’ adalah panggilan kesayangan yang diberikan Mas Herman untukku sejak kami menikah satu bulan yang lalu, tepat setelah hari kemerdekaan Indonesia.

“Memangnya Mas mau ke mana?” tanyaku.

“Mas harus bergegas menuju Hotel Oranye. Pihak Belanda berulah. Mereka memasang bendera Belanda di depan Hotel.”

“Ya Gusti …,” lirihku.

Aku segera bergegas menyiapkan seragam Mas Herman, yang kebetulan merupakan anggota TNI AD. Tanganku bergetar saat membantu memasangkan kancing bajunya. Entah mengapa, setiap Mas Herman akan berangkat bertugas di luar sana, aku merasa gusar.

Aku tahu bagaimana keadaan di lapangan. Suara tembakan yang terdengar dari dalam rumah saja mampu membuat semua orang bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Lantas, bagaimana nasib orang-orang yang bertugas di luar sana, yang melihat darah setiap harinya?

Tiba-tiba, kedua mataku berkabut. Kali ini, apa yang terjadi? Mengapa orang-orang Belanda masih memasang bendera mereka di tanah ini? Tidak akan terjadi peperangan lagi, bukan?

“Nduk, kenapa?” tanya Mas Herman seraya mengangkat daguku. Tangan besarnya terangkat dan menghapus air mataku.

Aku menggeleng cepat lalu memberikan senyumku untuknya. “Ndak apa-apa, Mas.”

Mas Herman ikut tersenyum. “Ndak akan terjadi apa-apa. Mas hanya ingin membantu menengahi, semoga saja tidak lama, ya?”

Aku mengangguk.

“Kalau sudah selesai, Mas akan pulang. Mas akan temani kamu di rumah.”

Aku mengangguk lagi. Terasa berat setiap melepas Mas Herman pergi. “Nani tunggu di rumah ya, Mas?”

Mas Herman mengangguk lalu memelukku erat. Tak lupa, ia mencium keningku cukup lama, sebelum berbalik badan meninggalkan rumah untuk bertugas.

Kupikir setelah itu aku akan bisa bertemu mas Herman kembali. Namun, rupanya tidak. Hari itu menjadi kiamat bagiku. Langit seakan runtuh saat kudengar kabar dari seorang relawan yang selamat, menyampaikan padaku bahwa Mas Herman gugur dalam perang.

"Dia sudah pergi, Nani," ucap Danu, ia salah seorang relawan yang berangkat bersama Mas Herman. Akan tetapi dia pulang dengan keadaan hidup dan Mas Herman pulang hanya nama.

"Tidak mungkin, Mas."

"Terimalah kenyataan, Nani. Menkadi istri seorang pejuang memanglah berat. Demi kecintaan terhadap negara, kecintaan kami para patriot harus mengutamakan negara dibanding istri, anak, bahkan nyawanya sendiri."

"Aku sedang mengandung, Mas Danu,"lirih suaraku mengalun, seakan menyayat hatiku begitu tajam.

"Banyak diantaranya yang berangkat hidup pulang mati, berangkat sempurna pulang buntung. Anakmu akan bangga atas perjuangan ayahnya. Bukankah gajah mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama?"

Aku menghela napas panjang. Tak sanggup berkata-kata. Kini setelah bertahun-tahun berlalu, kerinduanku pada Mas Herman tak pernah berubah. Menjadi kerinduan abadi yang tak akan terobati oleh temu.

"Mas Herman, aku merindukanmu."

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang