Pertama dan Terakhir

15 3 0
                                    

Kolaborasi by: Sky_1125 (Romance) & Zia_Faradina (Historical Fiction)

"Pasien harus segera dioperasi. Tulang tempurung kepalanya retak, ada kebocoran cairan otak yang harus segera dihentikan untuk meminimalisir kerusakan jaringan"

Alana bersimpuh di ujung ruang tunggu rumah sakit, baru saja ia merasa lega karena Pram---kekasihnya---selamat dari insiden kecelakaan tunggal itu. Padahal ia punya rencana akan pergi ke taman bersama. Namun, hal buruk mendahuluinya.

"Dia akan baik- baik saja, percayalah." Axel mengusap puncak kepala Alana, menenangkan adiknya yang tampak nelangsa.

Satu minggu berlalu. Menemani Pram di rumah sakit seperti bagian dari rutinitasnya. Alana tak ingin kehilangan Pram. Setidaknya dua hari lalu Pram telah sadar dan bisa melewati masa kritisnya.

Alana mengayunkan langkah dari dalam ruangan, mencari Axel yang sedang mengobrol di luar bersama sahabatnya Grace. Ia lapar dan butuh makan siang.

Setelah ia menenangkan cacing di perutnya yang sedang berdemonstrasi, setengah jam kemudian Alana kembali. Mengayunkan langkah gegas agar lekas bisa menunggui sang pujaan hati.

Namun, mata Alana terbeliak saat melihat ruang rawat Pram telah kosong. Ia mencari-cari ke setiap sudut ruang rawat Pram, memanggil-manggil namanya seperti orang kesetanan.

"Axel, Pram ... dia tidak ada di ruang rawatnya, apa yang terjadi? Aku hanya keluar sebentar untuk makan siang, hanya tiga puluh menit. Tapi, dia tidak ada. Bukankah aku memintamu menjaganya, tadi? kemana dia, Xel? Dia baru siuman dua hari lalu, tidak boleh kemana-mana dulu!" Alana tampak begitu panik.

"Pram ... " Suara Axel tertahan. Ekspresinya begitu sedih.

"Dia sudah pergi."

"Pergi? Pergi ... maksudmu?" Ada dentuman yang nyaris menyamai ledakan kota Hiroshima di jagat Alana. Pergi, bukan kata itu yang Alana harapkan. Bahkan tak pernah terlintas di benaknya.

"Dd-ddia ... meninggalkan kita semua." Suara Axel tersendat.

"Apa katamu? Kau bohong kan, Xel? Katakan kau bohong!" Alana menangis histeris. Tak bisa lagi membendung perasaannya. Kedua lututnya goyah, hatinya remuk tak berbentuk.

"Tidak, kau pasti berbohong! Dia tidak akan meninggalkanku ... katakan itu tidak benar!"

Axel mencoba meraih tubuh Alana, memeluknya dan membiarkan adiknya memukul-mukul dada bidangnya sambil menjerit jeri.

"Aku sangat menyesal harus mengatakan ini, Na, abses otak. Itu yang dokter katakan," jelasnya lirih.

"Tidak! Pram masih hidup!" erangnya pilu.

Axel mengeluarkan amplop berwarna merah kepada Alana. Amplop dengan gambar hati di tengahnya.

"Dia memintamu membacanya di taman saat sunset. Dia bilang jika bisa, ia ingin mengajakmu melihat sunset. Tapi nyatanya ia harus pergi."

"Di mana jasadnya sekarang? Aku ingin melihatnya untuk terakhir kali," pinta Alana di sela-sela tangisnya. Ia mulai mempercayai omongan Axel. Selama ini Axel tak pernah berbohong.

"Sudah dibawa pulang, akan segera dimakamkan. Dia tidak ingin melihatmu menangis. Jadi jangan menangis lagi."

"Pram ... tidak, aku tidak bisa kehilanganmu."

______

Sunset di taman indah luar biasa. Alana menyeka air matanya saat Axel membimbingnya berjalan di sana.

"Dibawah pohon ini aku menghabiskan waktu bersama beberapa minggu lalu, dan saat ini aku benar-benar kehilangan dia, Xel." Isak Alana tak juga berhenti, ia duduk di bawah pohon ditemani Axel.

Alana membuka lipatan kertas di tangannya, Axel bergeser dari tempat duduknya. Sedikit menjauh untuk memberi ruang pada kesedihan Alana.

Ia buka pelan- pelan amplop itu. Matanya terbeliak saat membacanya.

"Demi Tuhan, Alana. Aku mencintaimu ....
Aku akan meminta hal ini untuk pertama dan terakhir kali, aku tidak akan mengulang untuk memintanya ...
Berbaliklah, maukah kau menikah denganku?"

Tidak, apa dia masih hidup?

Axel berusaha menyadarkan Alana yang terbaring lemas setelah membaca surat dari Pram. Wajah gadis itu pucat pasi. Di bawah matanya ada lingkaran hitam yang menebal.

"Bangunlah, Alana!"

Axel cemas dengan kondisi Alana yang terpuruk setelah kepergian Pram. Gadis itu tak punya gairah hidup. Pikirannya kosong.

"Pram … Kaukah itu?" Axel tercekat saat mengetahui Alana sudah sadar.

"Pram sudah tiada," lirihnya.

"Tidak, dia masih hidup. Dia mengajakku menikah, Xel!"

Axel hanya menghela napas. Dia merasa iba melihat kondisi Alana. Bayangan Pram masih melekat di pikiran gadis itu. Diantarkannya Alana pulang agar dia bisa beristirahat dan menenangkan diri.

Selang beberapa hari, Grace mengabarkan pada Alex jika Alana dirawat di rumah sakit karena depresi. Alex yang mengetahui kabar itu, bergegas menuju ke sana.

"Alana, aku sudah datang."

Gadis bertubuh kurus itu menatap jendela kamar rumah sakit dengan tatapan kosong. Dia tak bergeming saat Alex menghampirinya. Pemuda itu mengambil buku dari tasnya. Lalu mulai menceritakan kisah Rukmini dan Tendean.

Mula-mula Alex menceritakan kisah awal pertemuan Tendean yang saat itu bertugas sebagai Komandan Peleton Batalyon Tempur 2 Kodam Bukit Barisan di Medan pada tahun 1963 di rumah Chaimin. Pemuda itu langsung jatuh hati pada Rukmini yang punya sifat lemah lembut, pemalu dan penuh dengan tutur kata sopan.

Begitu pula Rukmini gadis itu menyukai Tendean selain karena ketampanannya, dia juga cerdas dan humoris. Keduanya sepakat menjalin hubungan hingga bertahan lama. Saat Tendean ditugaskan jauh dari Medan mereka rutin berkirim surat. Hingga akhirnya sang Patriot melamar Rukmini dan menetapkan bulan pernikahan untuk mereka.

Kisah itu terus diceritakan Axel saat mengunjungi Alana di rumah sakit. Yang semula gadis itu cuek, perlahan mulai ada respon. Alex sangat bahagia melihat perkembangan Alana. Sejujurnya pemuda itu sudah lama memendam rasa. Hanya saja diurungkan untuk mengatakannya karena tahu Alana mencintai Pram.

Hingga suatu ketika Alex tak pernah datang lagi. Alana kembali gusar.

"Di mana dia, Grace? Axel berjanji akan melanjutkan ceritanya saat kondisiku membaik."

"Aku tak tahu. Berkali-kali sudah kuhubungi, tapi ponselnya tidak aktif."

Malam itu, Alana takbisa memejamkan mata. Dia terus menanti kehadiran Axel. Cerita-cerita itu terus berkelebat di kepalanya.

Sementara itu jauh di luar sana seorang pemuda ditemukan tergeletak bersimbah darah memegang buku Rukmini dan Tendean.

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang