Ieyasu's Servant

14 3 1
                                    

Kolaborasi by: SilverJayz_ (HTM) & setefvi (HTM)

"Jeira-san, cepat lari!" Ibuku yang sekarat menahan kaki seorang samurai.

"T-tapi ... Ibu—!"

"SEKARANG!"

Air mataku menitik. Aku berlari sekuat tenaga, mengabaikan teriakan kesakitan, bau api yang membakar dan bau darah. Desaku dan para penduduknya telah dihancurkan.

Aku terus berlari, tak peduli dengan apa yang ada di hadapanku. Aku masih mendengar suara teriakan dan suara derap kaki kuda di belakangku, mereka masih mengejarku, mereka haus akan kepalaku.

Belum cukup menyedihkan, aku terjatuh ke dalam sebuah jurang. Tubuhku berguling berkali-kali, menabrak batu dan dapat kurasakan kepalaku terbentur. Ketika tubuhku mulai berhenti bergerak, pandanganku yang kabur mendapati para samurai hanya diam menatapku dari atas sana, sebelum akhirnya pergi.

Aku kehilangan banyak darah, begitu juga dengan kesadaranku. Tubuhku diselimuti rasa sakit. Sebelum aku benar-benar pergi ke surga sana, aku mendengar suara derap kaki kuda sekali lagi dan merasakan tubuhku terangkat.

Aku terbangun dalam keadaan sudah diobati. Aku selamat.

~

Tahun 1567, era Sengoku, tiada hari tanpa pertumpahan darah, peperangan, semua orang haus akan kekuasaan, demi bertahan hidup.

Namun, aku sebagai seorang gadis berumur 14 tahun yang lemah cukup beruntung karena berada di bawah perlindungan Tokugawa Ieyasu, orang yang menyelamatkanku.

Kini, hanya Ieyasu-sama orang yang bisa kuandalkan, dialah alasanku hidup. Aku sendiri akan berusaha bertahan hidup deminya.

Hari ini merupakan hari yang cukup damai. Aku pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhah sehari-hariku. Harga bahan makanan masih stabil, dan masih banyak orang yang membeli kimono rajutanku.

Aku kembali ke kastil tempatku bekerja. Memasak makanan dan mampir ke tempat Ieyasu berada untuk sementara ini.

"Permisi, Ieyasu-sama." Aku duduk di depan pintu geser, menunggunya membalas.

"Ha'i."

Aku membuka pintu geser, lalu masuk ke dalam ruangannya membawa makanan. Ieyasu tengah sibuk menulis di mejanya.

"Aku membawa makanan, lebih baik Ieyasu-sama makan dulu," ujarku sambil menyodorkan makanan yang kubuat.

"Hm, terima kasih, Jeira-san." Ia tak mengalihkan pandangan dari pekerjaannya. Aku tersenyum, meski ia terpaut 10 tahun lebih tua dariku, aku merasa seperti ibunya saja.

Aku pun keluar dari ruangannya, tiap hari rasanya ia semakin sibuk saja.

Aku pergi ke ruangan para penjahit wanita. Dalam perjalanan, dapat kudengar para pembantu saling berbisik-bisik.

"Aku dengar sebentar lagi krisis yang besar akan datang. Biasanya, para panglima perang akan menelantarkan pengikut-pengikutnya jika mereka bisa."

"Um, apakah Ieyasu-sama akan melakukan itu juga? Kalau begitu bagaimana aku harus bekerja?"

Aku buru-buru pergi ke ruangan penjahit. Aku menjahit kimono pesananku sembari terlarut dalam pikiranku.

'Apakah Ieyasu-sama akan meninggalkanku jika krisis benar-benar terjadi? Ah, kalau dipikir-pikir, aku ini hanya pembantunya ... Aku bukan apa-apa baginya.' Pikirku sedih.

Hari mulai menggelap. Aku berjalan kembali ke ruanganku, tetapi tiba-tiba mulutku ditutup, aku ditarik ke dalam ruangan yang lebih gelap.

'Mana mungkin ... Ninja?!' pikirku.

"Ternyata rumor itu benar, gadis ini memang dekat dengan Tokugawa Ieyasu. Kita bisa menggunakannya sebagai sandera." Begitu kata orang yang menyekapku.

"Kalau ia tak membalas ancaman ini bagaimana?" sahut rekannya.

"Kita tinggal membunuhnya."

Mataku mulai terasa berat. Di tengah-tengah kesadaranku, aku berpikir ... Apakah Ieyasu-sama akan menyelamatkan kroco sepertiku?

Sayup-sayup kesadaran ku mulai kembali. Sekarang kedua tanganku yang diputir ke belakang dan tertahan pada kerangka kursi. Aku bagaikan orang bisu yang tak dapat berucap apapun, mulutku di simpal dengan sehelai kain hitam.

"Dimana aku sekarang?" Ujarku sambil memandang keadaan sekitar.

Sunyi, sepi, gelap, dan pengap itulah yang ku rasakan sekarang. Di suatu tempat yang sudah tidak berpenghuni dan terbengkalai. Angin sepoi-sepoi mulai terasa di kulitku, menambah kesan menyeramkan seolah mengeluarkan aura negatif.

"Bagaimana? Kau sudah memberi tahu Takugaku leyasu jika kekasihnya sekarang sudah berada di tangan kita", suara itu seakan menyadarkan lamunanku.

"Kekasih? Jadi mereka menyandraku sebab mereka mengira aku kekasih Tokugaku?" Pikirku.

"Sudah, kau tenang saja. Pria pecundang itu akan datang kemari untuk menyelamatkan gadis bodoh itu dan menyerahkan nyawanya", sabutnya.

"HAHAHA", kedua orang itu tertawa bersama seakan ada hal yang lucu. 

Semakin lama suara itu pun mulai tenggelam.

~

Namun diposisi lain, Tokugaku leyasu tengah mempersiapkan strategi untuk menyelamatkan Jeiran-san. Dia telah menyiapkan sepuluh prajurit dan panglima perang. Tidak membutuhkan waktu lama sekarang Tokugaku telah sampai di tempat dimana Jeiran-san berada.

"Ternyata penyelamat kesiangan kita sudah sampai kawan", sahut penyekap diiringi dengan gelak tawa yang menggelegar.

"Dimana Jeiran-san?" Teriak Takugaku leyasu.

Kegaduhan itu mulai terdengar di telinga Jeiran-san.

"Jadi Tokugaku leyasu bener-bener datang kemari?" Tanya Jeiran-san pada dirinya sendiri.

“Maukah kalian jadi tengkorak pajangan disini?” Hardi-nama penyekap itu acang-ancang menghantam balok kayu panjang pada kepala Takugaku leyasu.

“Tuan awas!” panglima menyuruh sang tuannya untuk menyingkir ketika kayu panjang yang dipegang Hardi hendak mendarat di kepalanya. Namun gerakan tangan panglima menarik Tokugaku agar menyingkir kalah cepat dengan gerakan balok kayu.

Tokugaku leyasu meringis ketika kepalanya terkena pukulan kayu dengan keras, darah segar langsung mengalir. Ia merasakan rasa pusing yang menjalar di kepalanya, kemudian kegelapan meliputi pandangannya.

“Untukmu anak bodoh yang tidak bisa menahan rasa kepuasan, hahaha.” Hardi tertawa puas ketika pemuda didepannya tergeletak disudut ruangan.

Melihat itu panglima tidak tinggal diam dia dengan sigap mengambil pedang lipat didalam sakunya ketika menyadari Hardi yang tidak siaga ia dengan gerakan cepat menancapkannya pada perut Hardi. Darah mulai membasahi seragam hitam yang ia kenakan.

Tak hanya itu, dengan cekatan panglima menendang perut Hardi dengan lututnya. Hardi terbatuk karena merasakan nyeri pada perutnya.

“Argh, anak bodoh sialan!” Hardi mengerang kesakitan ketika panglima kembali menghantam kepalanya menggunakan balok kayu miliknya diawal.

Disisi lain para prajurit Tokugaku tengah bertarung melawan tangan kanan dan pasukan Hardi dengan amat sengit. Tokugaku leyasu menendang Hardi yang mencoba menancapkan pisau padanya. Lalu mengambil alih pisau yang dipegang Hardi, ia menikam dada Hardi dengan pisaunya tepat didada kiri sang musuh.

Saat menyadari tidak ada gerakan pada sang musuh Takugaku leyasu segera melangkahkan kakinya menuju Jeiran-san yang berada di dalam kastil. Namun ternyata tidak di sangka tangan kanan Hardi hendak memanah Jeiran-san dari arah yang berlawanan.

Tokugaku terlihat mengenakan urat-urat diwajah dan lehernya sudah terlihat, saat melihat panah sudah melayang ke arah Jeiran-san.

“Lari sekarang!” seru Tokugaku ketika ia berhasil membopong tubuh lemah Jeiran-san.

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang