Dinner Invitation

15 3 4
                                    

Kolaborasi by: @HlriudiumSeagull (Romance) & William_Most (HTM)

Dia lagi-lagi diam. Dan, lagi-lagi, aku hanya bisa mengembuskan napas lelah.

Sejak pertengkaran hebat itu, sudah satu minggu kami tidak saling bicara. Tapi, apakah salah bila aku marah, di saat mendapati pacarku bercumbu dengan pria lain di apartment-ku sendiri?

Menurutku tidak. Dialah yang salah. Dan aku berhak menghukumnya.

Memang benar, hubungan kami tidak sehat. Tetapi, sedari awal aku sudah mewanti-wantinya. Dan dia menerima itu.

Dulu aku dapat merasakan cintanya, tetapi lambat laun aku bisa melihat kebosanan di mata wanita yang kucintai itu. Kenapa ia tega kepadaku? Apakah hidup  dengan kelengkapan yang kuberikan ini kurang? Apakah cinta yang selalu kusodorkan padanya ini tidak cukup?

Aku hanya memintanya untuk tetap berada di sisiku. Cukup dengan mencintaiku saja, maka seluruh dunia akan kuberikan untuknya.

Tetapi, ia selalu bilang bahwa aku mengekangnya, memenjarakannya.

Aku berjalan ke arah meja makan dan mengambil segelas air. Dari ujung mata, aku melihat wanita itu duduk di sofa, menatap layar televisi yang menyala.

“Aku mengganti sandi kunci pintu lagi hari ini. Kuharap kau tidak berpikir untuk pergi,” ucapku.

Ia tak menjawab.

Hah, sangat lelah bila kita tidak ditanggapi, tetapi bagiku itu bukan masalah, asal dia tidak pergi dari sini, itu sudah cukup.

Aku berjalan mendekat. Ia tetap diam di saat aku duduk di sampingnya. Merangkul bahunya.

“Kau pasti kesepian selagi menungguku pulang. Maaf,” ucapku melembut.

Lagi-lagi ia tidak menanggapi.

“Ah, sepertinya apartemen di sebelahku sudah ada yang menempati. Kudengar dia seorang wanita, aku akan mencoba mengundangnya makan malam bersama kita. Semoga saja kau tidak kesepian bila berteman dengannya,” ocehku lagi.

“Apa kau ingin makan sesuatu? Ah, kau tunggu dulu ya, aku beli bahan makanan dulu.” Kucium pipinya yang terasa dingin di bibirku, sebelum aku beranjak pergi.

Aku kembali dengan sebuah kantong makanan. Saat lift hampir tertutup, suara wanita tertangkap ditelingaku.

“Tunggu!”

Dengan cepat aku menekan tombol untuk menghentikan lift tertutup. Wanita itu tersenyum menatapku.

“Terima kasih,” ucapnya sembari masuk dan menekan tombol 10, di mana apartemenku juga di lantai 10.

“Ah ya, tidak masalah,” sahutku.

Aku memandangnya dari atas ke bawah. Ia cantik. Hampir secantik pacarku. Kurasa ia bisa berteman dengannya.

“Maaf, apa Anda penghuni baru di lantai 10?” tanyaku ramah.

“Ya, Benar.”

“Ah, berarti kau tetangga baruku, ya. Salam kenal, aku Sammuel.”

“Astaga, berarti Anda tetanggaku, ya? Wah, salam kenal juga, aku Giselle,” sahut dengan ceria.

“Padahal aku berencana untuk menyapa setelah ini, tidak kusangka kita bertemu di lift,” tambahnya.

Aku tersenyum lebih lebar mendengarnya.

“Aku juga bermaksud mengundangmu untuk makan malam di apartemenku hari ini, kebetulan banyak daging di rumahku.”

Kusadari wajahnya memerah malu mendengar ajakanku. Ah, aku tidak ingin membuatnya salah paham.

“Tentu saja bukan hanya kita berdua, aku tinggal dengan pacarku,” jelasku cepat. Penjelasanku membuat Giselle mengangguk mengerti dan menerima ajakanku.

Kami pun sampai di lantai 10. Aku mempersilakan Giselle masuk dan duduk di ruang tamu, tempat pacarku masih berdiam diri.

“Sam, di mana kau membeli boneka ini? dia cantik sekali. Seperti manusia saja,” ucapnya dari sana.

Aku hanya tertawa menanggapi.

“Oh, ya. Pacarmu mana? Apa dia di kamar?” tanya Giselle lagi.

“Hm? Pacarku kan sedang duduk di sebelahmu.”

“Hah?”

Giselle menyusulku ke dapur dengan wajah pucat.

“S-Sam, itu apa?” tanyanya.

“Ini daging. Daging pacarku.”

Aku lengah. Kukira Giselle syok di tempat, tetapi dia justru berlari menubrukku hingga aku menabrak kulkas, kemudian dengan cepat dia mengayunkan sesuatu.

Giselle menetakkan parang sekuat tenaga ke leherku. Bisa kurasakan tulang-tulang patah. Parang dibacokkan sekali lagi ke leher, kali ini darah menyembur, menodai parang, pakaian, serta dapur. Parang diayun lagi, limpahan darah makin memancur. Parang ditebas kembali, cairan merah kian mengalir deras. Senjata tajam itu ditetak terus dan terus, darah bermuncratan ke mana-mana, menodai kulkas, wastafel, bajunya dan bajuku, dinding, lantai tegel. Parang diayunkan kesekian kalinya, dan ternyata menggores pintu kulkas. Giselle berhenti memarang.

Tidak ada yang bilang ajal bakal menjemputku. Ya, buat apa juga bilang-bilang?

Besoknya, sebelum aku dijemput kereta beroda terbakar, tentu di apartemen berdatangan tim polisi beserta forensiknya. Pasti pacarku sekarang diselidiki, tetapi tubuh pelakunya kan sudah mati, nah, Giselle-lah sang buron yang dalam bahaya.

Namun, anehnya, hanya ditemukan satu mayat. Mayat pacarku—Giselle mengambilnya. Entah mau dibuat apa oleh wanita psiko itu, bodoh amat, toh aku sudah dijemput, ya bisa apa?

Ah, kalau tidak salah dia sempat memujinya secantik boneka.

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang