Versus Delirium

14 2 0
                                    

Kolaborasi by: William_Most (HTM) & chieszstory (Fantasy)

Pandemi mungkin telah usai, tetapi gangguan stres pascatrauma masih ada.

Wanita berserupa pendatang oriental di hadapan kami berdiri, memberikan set anak kunci. "Ini. Dan, selamat telah menjadi penyintas," kabarnya.

"Bagaimana caranya pulang, Dok?"

"Keluar lewat pintu eksit lalu telusuri lorongnya."

Kami melangkah, melihat boks masker dijadikan rebutan, orang-orang dalam kepanikan di swalayan, mengguyur tubuh mereka dengan cairan yang menguap. Pengumuman yang beruntun, aplikasi pertemuan daring, perubahan kehidupan.

Penuh keraguan, meragukan hidup.

Menjadi bagian dari tujuh puluh lima persen bukan keinginan kami, tetapi yang terjadi biarlah terjadi. Kami terus berjalan melalui lorong. Sebelum menyeberangi trotoar, kami yang bermasker dan serba tertutup dalam pakaian tebal, memandang titik-titik yang menguap dari cerobong tiap rumah, kekecewaan berubah jadi frustrasi, frustrasi menjadi stres, stres berujung depresi.

Ah, ambulans lewat. Orang-orang melompat, jiwa mereka meregang dari rumah sakit yang sesak.

Kami ingin dijemput. Ramai jalanan, pedestrian mengobrol acak, motor dan mobil berderum, kerumunan di mana-mana. Semua wajah tampak, tidak ada masker. Semua kulit bersentuhan, tidak ada jaga jarak. Instalasi cuci tangan dan bilik penyemprotan dibongkar.

Kami sampai di ujung pintu. Anak kunci masuk. Kami berharap dunia yang baru, kenormalan baru.

Saat kami keluar, terlihat jalanan yang sebenarnya sepi. Rumah-rumah tertutup, orang sembunyi hanya sekadar menghirup oksigen di luar. Kendaraan penyemprot disinfektan berkeliaran dengan suara yang mengganggu.

Kami melihat jam tangan, kalender pada gawai. Ini 23 Maret 2020 pukul dua belas siang tepat.

Tak ada pilihan lain. Kami harus memberi tahu tentang virus itu, tentang bagaimana vaksin dengan cepat diciptakan. Tentang kesintasan yang kecil.

Namun, setelah dipikir-pikir. Tidak usah.

Kami menuruninya. Sepasang sepatu basah terendam. Anak demi anak tangga, hingga ujung dasar. Bila meletup sudah gelembung terakhir dari salah satu di antara kami, pertanda terpenuhilah kedayagunaan bagi bumi.

Saat kami hidup lagi, orang-orang sebaya dengan pose yang berbeda menatap. Ada wanita berwajah oriental di antara mereka. "Ini rekan kita yang terakhir? Bukan main!"

Aku berteriak. Wanita berwajah oriental itu memegang tubuh seseorang yang membiru, lemas seperti tanaman layu.

“Apa yang kau lakukan?!” pekikku.

“Wah dia kumat lagi,” cetus pria di samping si wanita.

Si wanita berwajah oriental menoleh. “Apa maksudmu?”

“Meski kemampuannya hebat, dia menderita delirium parah dari beberapa operasi sebelumnya. Dia bisa tiba-tiba lupa tentang apa saja dan sering tersesat dalam khayalannya sendiri. Makanya aku heran mengapa dirinya masih bergabung denganku menjadi anggota terakhir di cabang baru ini.”

Wanita berwajah oriental menatapku iba lalu memanggil seseorang. “Jason!”

Seorang pria dengan rambut tembaga muncul dari belakang.

“Ajari dia.”

Jason menoleh lalu tersenyum ramah. “Ikutlah denganku.”

Aku pun mengikutinya, melewati orang-orang yang menatapku aneh di sepanjang lorong hitam menuju ke suatu ruangan.

Ruangan di ujung lorong kontras dengan lorong yang kami lewati. Di sana sepi, penerangannya sangat terang hingga membuat mataku silau, dan terlihat bersih. Di tengah ruangan ada meja besi. Di sisi kiri ruangan dihiasi mesin-mesin dengan beberapa layar monitor. Di sisi kanan terdapat sulur tanaman aneh berukuran raksasa, bahkan ada sulur yang diameternya lebih besar dari tubuhku. Di tiap sulur tanaman terdapat banyak cabang yang di ujungnya ada bola cahaya berwarna biru.

“Aku mendengar jika kalian bisa mengalami efek samping dari tiap operasi. Sepertinya ada bagian rusak dari manusia yang terserap oleh kalian selama proses pemindahan. Selain penyakit, ingatan-ingatan buruk yang terpatri di tubuh manusia bisa berpindah. Kalian akan merasa ingatan itu milik kalian.”

Jason berceloteh panjang lebar tentang hal-hal yang tidak kumengerti.

“Kau bisa menaruhnya di meja itu,” lanjut Jason.

Aku menoleh. Heran dengan apa maksud Jason.

Ketika aku mengikuti arah pandangnya, aku melempar tubuh di tanganku sambil memekik. Bagaimana bisa aku tidak sadar telah menyeret seorang manusia?!

“Aduh. Jangan dibuang! Tubuhnya masih bagus.” Jason lantas memungut tubuh manusia tadi dan menaruhnya di atas meja besi di tengah ruangan. Ia lantas menoleh padaku. “Giliranmu.”

Apa?

Melihatku yang bingung, Jason lantas mengambil satu bola kebiruan dan menaruhnya di kedua tanganku.

“Jumlah peri tidaklah banyak, sehingga kalian harus bekerja keras mendatangi tiap cabang-cabang operasi kebangkitan manusia. Hanya para peri yang bisa menetralkan segara keburukan dalam tubuh manusia yang mati dan menyatukan roh yang tersebar di alam ke dalam tubuh manusia. Setidaknya dengan ini ras manusia bisa dilanjutkan lagi. Ras manusia sudah punah tiga tahun yang lalu ketika seorang ilmuwan gila bereksperimen demi menciptakan vaksin. Nyatanya itu adalah senjata pembunuh massal yang menular cepat di udara.”

“Punah? Lalu kau ….”

Jason tersenyum. “Aku dan orang-orang yang bertugas di cabang-cabang pembangkit manusia adalah generasi pertama yang dihidupkan oleh raja peri. Kami bertugas membangun kembali ras manusia.”

“Peri ….”

Tiba-tiba ingatan-ingatan berbeda tumpang tindih di kepalaku. Semuanya menggambarkan detik-detik terakhir di tanggal 23 Maret 2020.

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang