Michaelita; Altruism

7 2 0
                                    

Kolaborasi by: SilverJayz_ (Historical Fiction) & A_Ogies (Romance)

"Michael Everain, 24 tahun

Seorang pembunuh bayaran yang tak kenal belas kasihan. Terkuak bahwa ia tak pernah dicintai, tak punya orang yang dicintai, tak memiliki sesuatu yang beharga. Ia hanya bergantung pada dirinya sendiri.

Karena itu, ini kesempatan bagus untuk menjadikannya kelinci percobaan kami! Demi menyelamatkan dunia dari kiamat penjahat." Seorang professor meyakinkan kepolisian.

"Memangnya, percobaan apa yang sedang kau jalankan?" tanya salah seorang polisi.

"Kami menyebutnya percobaan 'Altruism'."

~

"Mulai sekarang, kau akan membunuh semua penjahat yang kami perintahkan untuk bunuh, jika tidak, Aelita Jax akan kami bunuh."


Aku tak ingat kapan aku mengenal gadis bernama Aelita Jax. Begitu para ilmuwan gila itu menunjukkan fotonya padaku, aku merasa bahwa gadis itu adalah satu-satunya hal yang harus kulindungi, satu-satunya hal yang berharga bagiku.

Aku dibebaskan dari penjara dengan hukuman pengganti, yaitu membunuh para buronan tanpa dibayar.

Menjengkelkan.

Padahal biasanya, tak ada yang bisa menghentikanku. Dipaksa seperti ini membuatku merasa seperti kelinci yang dipermainkan.

Tapi ... kupikir tak apa seperti ini. Karena perasaan ini, aku seolah memiliki tujuan hidup, yaitu melindungi gadis itu.

Sebenarnya apa yang mereka perbuat padaku sehingga aku memiliki rasa ini?

"Pembunuh berantai yang membunuh para remaja perempuan?" Atasanku membaca koran. "Hei, Michael. Bukannya pacarmu juga masih remaja, ya?"

"19 tahun, dan dia bukan pacarku."

"Kalau begitu, jaga dia. Mereka bilang pembunuh itu mencari mangsa di tengah malam." Atasanku memberi saran. "Omong-omong, aku akan tutup perpustakaannya sekarang."

Aku mengangguk, lalu pergi ke ruangan tersembunyi. Menelepon seseorang. "Ada pembunuh berantai yang mengincar remaja perempuan, mengapa kau tak memberikanku identitasnya!"

"Tenanglah. Masalahnya, kami sendiri belum mengungkap informasi tentangnya," jawab orang di seberang. "Lebih baik kau menjaga Aelita dari dekat, kalau bisa, terlihatlah sedang bersamanya terus."

"Aku ... tak bisa." Aku menggigit bibir gugup.

"... Katakan, apa yang kau rasakan sekarang?"

"Entahlah, aku takut dia mati. Tapi, aku tak siap kalau harus bertemu langsung dengannya."

"Tak ada pilihan lain, pembunuh yang mencari mangsa secara acak hanya akan mengincar korban yang sendirian, 'kan?" sahutnya. "... Kau terlihat menuhankan Aelita dibanding mencintainya."

"Huh?"

Telepon ditutup.

Daripada memikirkan apa maksudnya, aku memutuskan untuk langsung pergi ke tempat di mana Aelita bekerja.

Dari jendela, dapat kulihat Aelita masih sibuk bekerja. Hanya ada sedikit pembeli di Café. Aku memberanikan diri, meski ini sudah kesekian kalinya aku kemari, lalu memasuki Café.

"A-aku mau memesan ...." Aku terlanjur gugup.

"Hazelnut Latte, dibawa pulang, 'kan?" tanya Aelita yang rupanya sudah hapal apa yang selalu kupesan.

"S-sebetulnya malam ini aku mau minum di sini. Bolehkah aku duduk di meja bar?" tanyaku.

"Tentu, Tuan." Aelita tersenyum manis. Aku tak percaya aku bisa melihat senyumnya dari dekat.

"Kau kelihatannya masih muda, berapa umurmu?" tanyaku, mencoba basa-basi.

"19," jawabnya. Ah, aku sudah tahu itu.

"Ada berita bahwa pembunuh berkeliaran mengincar remaja perempuan. Dan ... kau malah bekerja shift malam?" tanyaku.

"Aku masih harus sekolah di siang hari dan mengurus ibuku," jawab Aelita. "Lagipula, aku sudah terbiasa."

"Oh?" Aelita memberikan pesananku. "A-aku Michael Everain, pustakawan di perpustakaan seberang Café."

Aku berniat mengenalkan diri agar dia bisa memercayaiku, tapi kelihatannya ia malah mencurigaiku, sial!

Lanjutan.
Jumkat: 212

"Baiklah, salam kenal, Tuan."

Percakapan kami pun berakhir.  Sangat singkat, tapi ada kemajuan.

Aku duduk di bar sembari meliriknya sesekali. Pikirku dia adalah target yang mudah untuk dibunuh. Berwajah polos, bertubuh pendek, dan sering bepergian sendirian. Entah kenapa sekarang aku sangat terganggu dengan perkataan atasanku.

"Semoga dia selalu baik-baik saja," ucapku pelan.

Melihat tidak ada panggilan dari atasan, aku pun menghabiskan waktu di bar. Dia sedikit heran melihatku sendiri beberapa jam tanpa ada yang menemani atau pun menambah pesanan. Untung saja aku tidak diusir dari sini.

Sampailah pukul di mana kafe ini akan tutup. Dia sudah mulai berkemas dan aku pun memutuskan untuk pulang. Ah, tidak. Maksudku untuk diam-diam mengikutinya pulang.

Namun, ponsel dalam saku aku bergetar. Sebuah misi telah diberikan. "Sial! Padahal hari ini aku hanya ingin menemaninya."

Beberapa jam kemudian, aku mengirim pesan.
Misi berhasil

Aku mengembuskan napas lega. Akhirnya, aku bisa membunuh penjahat yang mengincar para remaja itu.

Baru saja aku menghidupkan mesin motor, lagi-lagi ponsel milikku bergetar.

Prof.

Misi gagal, target salah. Kembali jatuh korban
Indentitas korban
Usia 19
Nama: Aelita

Duniaku runtuh seketika.

***

Mendengar tawa polisi di depanku saat ini, rasanya ingin aku akhiri tawa itu dengan sayatan pisau yang menghujam jantungnya.

"Percobaanmu gagal lagi, Prof."

Aku tersenyum menanggapi ucapannya. "Tidak apa, aku telah menemukan kelinci lain."

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang