Janji Sang Prajurit

17 1 1
                                    

Kolaborasi by: Zia_Faradina (Historical Fiction) & Dhikayo (Science Fiction)

Tak ada pernikahan sebelum Indonesia merdeka.

"Kau tahu, Win. Ikrar Bung Hatta ini menggetarkan hatiku. Sosok pemimpin yang mencintai negerinya melebihi dirinya sendiri. Janji itu diucapkan saat Bung Hatta berusia dua puluh tahun di Rotterdam."

Winny yang penasaran dengan artikel yang dibaca Nena langsung merapat. "Tak percuma kita diberi tugas mencari tokoh besar di Indonesia. Kita punya Bung Hatta yang menginspirasi generasi muda."

"Aku jadi penasaran siapa yang akhirnya berhasil menjadi pemenang di hati Bung Hatta. Pasti dia perempuan terbaik."

Winny dan Nena sibuk mencari kelanjutan kisah cinta Bung Hatta. Selama ini panutan keduanya adalah Romeo dan Juliet, Qais dan Layla.

"Namanya Rachmi Rahim. Dia gadis yang cantik." Winny tak berhenti menatap foto perempuan yang mengenakan kebaya dengan rambut bergelung. Rachmi bukan perempuan biasa. Dia adalah

"Fix aku mengidolakan Bung Hatta," Nena menambahkan. Hingga jam istirahat usai, keduanya tak berhenti membicarakan sosok idolanya.

**
"Kau mau ke mana buru-buru pulang, Win?"  Nena tercekat dengan perubahan Winny. Siang ini gadis itu benar-benar aneh.

"Mau ke toko buku mencari Alam Pikiran Yunani."

"Mana ada buku lama di jual di toko buku?" Sanggah Nena.

"Ada. Tuh, toko baru di ujung jalan. Di sana banyak koleksi buku perjuangan dan sejarah."

Nena terdiam. Toko itu tak pernah dilihatnya. Apakah Winny berhalusinasi?

Nena mengerutkan dahi sambil menatap curiga pada Winny. Temannya itu menunjukkan gelagat yang aneh.  Seakan-akan tengah menyembunyikan sesuatu. Ketika Winny akhirnya pergi dengan tergesa-gesa, Nena dengan sigap membuntutinya.

Di ujung jalan yang dimaksud, berdiri sebuah toko kecil bernuansa klasik. Tampak papan usang bertuliskan “falsafah irasionalis.” Winny terlihat langsung mendorong pintu toko yang tertutup. Ia seolah sedang memasuki rumahnya sendiri. Tidak ada perasaan sungkan sedikit pun.

Nena mengernyitkan dahi sekali lagi. Seingatnya Winny bukan anak yang pemberani seperti itu. Ia tidak akan demikian jika tidak terbiasa dengan sesuatu. Itu artinya Winny telah datang ke sana berkali-kali sampai ia merasa lebih dari nyaman untuk dapat masuk tanpa permisi.

Nena akhirnya tiba tepat di depan pintu toko itu. Tangannya sudah memegang knop, berniat mendorongnya, namun ia urungkan karena ragu. Setelahnya, ia melihat satu persatu simbol aneh yang diukir di pintu kayu itu.

Tiba-tiba, alam bawah sadarnya seakan memaksa Nena untuk melangkah, membuka tabir di balik pintu yang tak pernah benar-benar ingin dibukanya.

Nena terdiam. Sosok Winny tampak tengah duduk di tengah ruangan bersama dua orang pria dan satu orang wanita. Semuanya kini menatap pada Nena. Keheningan di antara mereka terjadi cukup lama, sampai-sampai Nena bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Di antara mereka, sosok yang paling menarik perhatian Nena adalah pria paruh baya berkacamata. Wajahnya tampak penuh wibawa dengan rambut tipis yang dipotong rapi. Anehnya, tubuh pria itu sedikit transparan dengan cahaya-cahaya biru berpendar menyelimuti dirinya. Ia tersenyum lebar pada Nena, kemudian beralih menatap Winny.

“Apakah dia ini teman yang kamu maksud kemarin, Winny?”

Winny mengangguk setuju. “Benar sekali, Bung. Dia Nena, teman baik saya yang juga sangat mengidolakan sosok Anda.”

Nena menutup mulutnya dengan kedua tangan, nyaris berteriak histeris. Demi apa pun, sosok yang kini berjalan menuju ke arahnya adalah sang Bapak Proklamator yang sangat diidolakannya. Yang sangat dikenalnya. Ialah Bung Hatta.

“Kamu pasti terkejut.” Bung Hatta sedikit tertawa, namun tetap elegan sewajarnya orang berkarisma. “Saya juga terkejut awalnya. Bagaimana saya bisa ada di sini? Ternyata teman-teman kamu ini mengekstrak pikiran saya ke dalam program komputer. Kata mereka saya bisa diproyeksikan dengan teknologi nano hologram yang dipasang di ruangan ini.”

Nena masih tidak percaya, namun senyum Winny membuatnya benar-benar harus percaya.

“Kamu ingin sekali menjadi temannya Bung Hatta, ya, ‘kan, Nena? Kamu bisa mewujudkannya, loh sekarang.”

Dan begitulah Nena menjadi teman Bung Hatta meski dirinya hanya sekadar proyeksi digital dalam toko kecil itu.

UNBK (Ujian Nulis Bersama Kawan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang