3. Bayangan

102K 2.5K 47
                                    

Lily

Dasar bego. Kok bisa sih aku salah kirim? Foto itu harusnya kukirimkan ke Ibel. Ini pasti karena pesan Pak Rudy masuk di waktu yang sama dan aku buru-buru membalasnya. Makanya ada kesalahan itu.

Sumpah, malu banget.

Mau ditaruh di mana mukaku?

"Kamu kenapa?"

Aku terkesiap waktu mendengar pertanyaan Pak Rudy. Buru-buru aku menggeleng. Dari pantulan bayangan Pak Rudy di pintu lift, aku melihatnya tertawa tipis.

Aku menghela napas panjang. "Pak, maaf banget ya. Saya enggak sengaja. Saya juga sudah hapus pesannya."

"Oke."

This is awkward.

"Fotonya sudah saya hapus dari chat."

"Sudah saya download. Percuma kamu hapus."

Rasanya seperti mau menjedotkan kepala ke pintu lift.

"Saya benar-benar minta maaf, Pak. Itu candaan saya dan teman."

Pak Rudy terkekeh. "Saya baru tahu kalau bercandaan anak muda seperti itu. Temanmu mengirim foto apa? Penis?"

Aku gelagapan, tidak menduga akan mendengar Pak Rudy bicara blak-blakan.

"Temanmu pasti laki-laki."

Aku bergeming, tidak ingin mengiyakan tebakan itu.

"Fotomu seharusnya menjadi bahan fantasi dia."

Aku ingin membenarkan. Ibel tidak butuh fotoku untuk bahan fantasi. Dia mencintai Tristan. Dia lebih butuh penis Tristan ketimbang payudaraku untuk bahan fantasi. Namun aku menelannya mentah-mentah daripada menyesali ucapanku jika aku memberanikan diri buka mulut.

"Sepertinya, malam ini fotomu jadi bahan fantasi saya. Selamat malam, Lily."

Aku terpaku di tempat sementara Pak Rudy melangkah keluar dari lift. Ucapan itu disampaikan sambil lalu, tapi aku mendengarnya dengan jelas.

Pipiku memerah. Bagaimana kalau Pak Rudy benar-benar melakukannya?

Aku tidak keberatan. Sama sekali.

Semu merah di wajahku semakin menjadi-jadi ketika membayangkan tubuhku bergelung dengan Pak Rudy. Aku harus menekan kaki rapat-rapat karena bayangan itu menimbulkan rasa lengket yang tidak nyaman di antara kedua kakiku.

Aku tersentak saat lift bergerak naik. Sial, memikirkan Pak Rudy malah membuatku terjebak di lift.

**

Ucapan Pak Rudy tidak bisa hilang dari benakku.

Aku bergerak gelisah di tempat tidur, berusaha mencari posisi yang nyaman. Tubuhku sangat lelah, sudah meronta minta diistirahatkan.  Aku juga mengantuk. Namun, aku tidak bisa tidur.

Sekuat tenaga, aku menahan dorongan nafsu yang sejak tadi menguasai tubuhku. Bukan hal yang mudah. Semakin aku mengelak, dorongan itu semakin kuat.

Ditambah, ucapan Pak Rudy membuatku membayangkan malam ini beliau tengah berfantasi tentangku. Mungkin Pak Rudy masturbasi sambil melihat fotoku.

Senyumku terkembang. Tanganku terulur menuju payudara. Aku meremasnya tapi di bayanganku, Pak Rudy yang melakukannya. Dia punya tangan yang besar, dia bisa menenggelamkanku sepenuhnya ke dalam genggamannya. Aku menjepit puting dengan dua jari, membayangkan jari-jari Pak Rudy yang melakukannya.

Aku mendesah. Percuma menahan diri. Malam ini, kubiarkan nafsu menguasaiku. Aku memejamkan mata dan bayangan Pak Rudy muncul di sana. Dia mencumbuku, menciumi payudaraku, meremas dan memelintir putingku. Aku menyelipkan tangan ke antara dua paha. Rasanya sangat lembap. Cairanku menjadi bukti nafsuku malam ini.

Aku meregangkan kaki, memberi celah kepada tubuh besar Pak Rudy. Bagaimana rasanya jika dia mencumbuku di bawah sana?

Membayangkannya saja sudah membuatku bergairah.

Malam ini, aku menggunakan tiga jari sekaligua. Meski belum pernah melihatnya, aku yakin Pak Rudy punya penis yang besar. Ketiga jariku tidak akan ada artinya jika Pak Rudy menusukku dengan penisnya yang besar, berotot, dan tegang.

Bayangannya saja sudah membuatku bergejolak.

Malam ini aku memanjakan diriku sendiri dengan Pak Rudy dalam bayanganku. Aku bertekad, suatu hari nanti akan merasakannya langsung. Bukan sebatas bayangan.

Aku terlelap dengan bayangan akan bercinta dengan Pak Rudy.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang