27. Tempat Berbagi

38.3K 1.9K 31
                                    

Aku suka berbelanja di supermarket. Menurutku ini salah satu retail therapy yang bisa membuatku tenang. Setidaknya, selama beberapa saat, aku bisa fokus memilih kebutuhan sehari-hari dan otakku tidak punya kesempatan untuk memikirkan hal lain.

Waktu kecil, aku sering berbelanja dengan Papa. Hal inilah yang menumbuhkan kecintaanku pada supermarket. Setelah dewasa, aku sering melakukannya. Aku bahkan sengaja ke supermarket setiap kali merindukan Papa. Aku akan berakhir di depan konter es krim, mengenang percakapan terakhirku dengan Papa, saat aku merengek ingin membeli es krim.

Selama ini, aku sering memandang iri pasangan yang tidak sengaja kulihat saat berbelanja bulanan. Mendengarkan mereka saling berdiskusi memilih apa yang dibutuhkan di rumah menimbulkan perasaan iri karena jauh di dalam hati, ini adalah impianku. Aku juga iri pada keluarga utuh yang berbelanja di supermarket.

Keinginan itu bercokol cukup lama di hatiku, tumbuh subur dari hari ke hari.

Aku terkesiap saat merasakan seseorang merangkul pinggangku. Namun, aku langsung lega saat mengetahui Pak Rudy yang memelukku.

"Jangan kaget, tapi di ujung lorong ada ibumu."

Rasanya seperti ada gempa besar yang membuat bangunan ini runtuh dan memerangkapku di dalamnya.

Aku melirik ke ujung lorong. Pak Rudy benar, ada Mama di sana. Aku tidak tahu apakah Mama sendirian atau ada Om Candra di lorong lain.

"Enggak biasa-biasanya Mama belanja di Grand Lucky," bisikku.

Aku bisa merasakan Pak Rudy mengeratkan pelukannya. "Dia melihat kita. Kamu tenang aja, saya tidak akan meninggalkanmu."

Janji yang diucapkan Pak Rudy terasa seperti guyuran air dingin di tengah gurun yang memerangkapku.

Aku tidak menoleh, tapi aku bisa merasakan kehadiran Mama di dekatku. Peganganku di kotak susu semakin erat, sampai-sampai Pak Rudy mengambil kotak itu dari tanganku dan meletakkannya di dalam troli.

Mama berdeham. "Jadi, ini suamimu? Enggak mau dikenalin ke Mama?"

Jika aku tumbuh di keluarga normal, aku akan memperkenalkan Pak Rudy sebelum menikah. Mama tentu akan hadir di pernikahanku. Namun, hidupku jauh dari kata normal.

Pak Rudy mengulurkan tangan ke arah Mama. "Saya Rudy, suaminya Lily."

Mama mendengkus. Dari sudut mata, aku bisa melihat senyum sinis di wajahnya. "Kamu lebih cocok jadi ayahnya Lily, bukan suaminya." Mama tertawa sinis, membuatku ingin mencakar wajahnya agar dia diam. "Selama bisa dapat yang muda gratis, kenapa enggak?"

Di luar dugaan, Pak Rudy justru tertawa. Dia menarikku hingga aku berhadapan dengan Mama. Rangkulannya di pinggangku semakin erat. Pak Rudy bahkan memeluk tubuhku dengan kedua tangannya.

"Banyak yang tidak percaya kalau kami saling mencintai. Awalnya saya juga enggak percaya Lily mencintai saya, tapi here we are. Happily married." Sandiwara Pak Rudy membuat Mama melayangkan tatapan jijik kepadaku.

"Pelacur murahan ini cuma mengincar hartamu," ujar Mama.

Biasanya, ucapan kasar dari mulut Mama tidak pernah mempengaruhiku. Namun kali ini, ucapan Mama menyentilku. Hatiku teriris saat mendengar Mama memanggilku pelacur.

Bagaimana seorang Ibu bisa berkata seperti itu kepada anak kandungnya?

Aku teringat ucapan Om Cokro. Mama menjebak Papa ke dalam pernikahan dengan kehamilannya. Sejak awal, kehadiranku di dunia ini tak lebih dari sebatas senjata yang dibutuhkan Mama untuk mendapatkan harta Papa. Ketika sekarang aku tidak lagi bisa dimanfaatkan, nilaiku tak ada artinya lagi di mata Mama.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang