9. The Grass are Green

68.5K 2.5K 17
                                    

Setidaknya, kesibukan selama di Bintan membuatku bisa melupakan hasrat tak terbendung akan Pak Rudy walau hanya sejenak. Meeting demi meeting yang tak ada habisnya membuatku bahkan tidak sempat beristirahat. Proyek ini bekerjasama dengan developer dari Singapura. Investornya enggak main-main. Sepanjang hari, aku selalu melihat wajah serius Pak Rudy.

Pak Rudy dalam mode CEO membuatku tidak bisa mengedipkan mata. Dia punya kepercayaan diri tinggi, yakin dengan apa yang dia inginkan, sehingga lawan bicaranya menaruh hormat yang tinggi. Kalaupun dia ragu, dia tidak menunjukkannya.

Semua kapasitas itu yang aku inginkan, agar aku bisa melanjutkan perusahaan Papa. Kalau saja bisa, aku ingin mendapatkan secuil kepercayaan diri Pak Rudy.

"Hari ini jadwal kita apa saja?" Pertanyaan Pak Rudy menghapus lamunanku.

Aku membuka ipad, senjata utamaku saat bekerja, dan memeriksa jadwal Pak Rudy.

"Setelah main golf dengan Mr. Lawrence, ada waktu kosong sampai nanti pukul dua meeting dengan Mr. Smith. Lalu kosong lagi. Malam nanti ada undangan makan malam dengan Pak Rahmat," sahutku.

"Kamu reservasi makan siang di restoran dekat tempat meeting buat kita, biar enggak bolak balik. Kamu bawa baju ganti, kan?"

Aku mengangguk sambil memasukkan catatan untuk reservasi makan siang.

Setelah selesai, aku mengangkat wajah dan tidak sengaja bersitatap dengan Pak Rudy. Gelenyar halus menguasai tubuhku saat mendapati cara Pak Rudy menatapku.

Selama beberapa hari ini aku gelisah sementara Pak Rudy terlihat profesional. Seolah ciuman di apartemennya bukan hal besar. Namun pagi ini, dari kabut yang membayangi tatapannya, aku yakin bahwa selama ini Pak Rudy menyembunyikan keinginannya.

Aku meneguk ludah. Napasku terasa berat. Aku ingin mengalihkan tatapan, tapi tidak bisa. Pak Rudy memerangkapku dalam tatapannya yang membara.

Kalau tatapan bisa menelanjangi, itulah yang kurasakan saat ini. Pak Rudy menyusuri tubuhku, sebelum kembali memaku mataku. Caranya menatapku memantik hasrat di dalam tubuhku.

Untung aku sadar, ada sopir di antara kami. Sehingga aku tidak mempermalukan diri dengan melompat ke pangkuannya, dan mencumbunya.

"Kita sudah sampai, Pak." Ucapan sopir membuatku menarik napas lega.

Pak Rudy tersenyum sekilas sebelum keluar dari mobil. Aku berusaha memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk mengatur napas, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan. Dengan dada masih berdebar, aku menyusul Pak Rudy.

Caddy bernama Joshua sudah menunggu di dekat mobil golf. Setelah memperkenalkan diri, dia membawaku dan Pak Rudy ke tempat Mr. Lawrence menunggu.

"Kamu ngerti golf, Ly?" Tanya Pak Rudy.

Aku menggeleng.

"Pernah main sebelumnya?"

Sekali lagi, aku menggeleng. "Waktu kecil pernah nemenin Papa."

"Mungkin nanti saya bisa ajarin satu dua pukulan."

Aku menunduk untuk menyembunyikan semu merah di wajah.

Joshua memberhentikan mobil golf di dekat hole tempat Mr. Lawrence menunggu. Dengan sigap, dia mempersiapkan stik golf yang dipakai Pak Rudy. Aku hanya memperhatikan, jaga-jaga kalau aku harus menggantikannya.

Sementara Pak Rudy dan Mr. Lawrence bermain golf sambil bicara bisnis, aku mengikuti di belakang. Aku tidak mengerti golf, jadi tidak bisa menilai Pak Rudy jago atau tidak.

Aku pernah menemani Papa main golf. Papa enggak begitu suka, tapi terpaksa melakukannya demi memenangkan tender. Itu pelajaran bisnis pertama yang kudapat. Dalam bisnis, tidak semuanya berpihak pada keinginan kita.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang