Lily
Setelah dua minggu di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkanku pulang. Namun, aku masih belum bisa beraktivitas seperti semula. Masih banyak jadwal fisioterapi yang harus kuikuti agar bisa kembali seperti sebelum kecelakaan itu terjadi.
Akan selalu ada ruang kosong di hatiku, yang akan selalu menganga, yang membuatku tidak bisa sepenuhnya kembali seperti semula.
Pak Rudy membantuku berbaring di tempat tidur. Mataku memandang sekeliling. Rasanya masih seperti mimpi, bisa pulang ke rumah ini lagi. Di detik-detik sebelum mobil itu menabrak pohon, aku melihat sekelebat kehidupanku. Kenangan bersama Pak Rudy memenuhi benakku. Pak Rudy dan kebersamaan dengannya menjadi kenangan terakhir yang mengikutiku ketika kegelapan akhirnya menyambutku.
"Nyaman?"
Aku mengangguk. Pak Rudy membenarkan letak selimut yang menutupi tubuhku. Dia duduk di sisi ranjang, tidak sedikit pun mengalihkan tatapannya dariku.
Baru kali ini aku benar-benar memperhatikannya. Sosoknya terlihat jauh lebih tua dibanding kali terakhir aku bertemu dengannya. Wajahnya yang lelah dan kuyu membuat hatiku kembali dililit rasa sakit, karena akulah yang menyebabkan kesedihan itu.
"Kamu istirahat, ya."
Pak Rudy mengecup keningku, sebelum beranjak meninggalkanku. Namun, aku menahan lengannya sehingga dia kembali duduk di sisiku.
Aku membuka mulut, tapi tidak ada yang keluar dari mulutku.
Selama ini aku menunggu dia yang memulai. Mungkin memarahiku, mengapa aku merahasiakan kehamilanku darinya? Atau, mungkin memarahiku karena aku hamil. Dia tidak ingin punya anak, tentu dia tidak menginginkan anak yang kukandung. Sekarang anak itu sudah tidak ada, tidak ada lagi yang bisa membebaninya, seharusnya dia lega.
Aku ingin tahu bagaimana perasaannya, tapi aku tidak tahu cara menanyakannya.
"Kenapa?"
Akhirnya, aku menggeleng dan melepaskannya.
Pak Rudy mendekapku. "Pelan-pelan, ya. Begitu kamu sudah sembuh, kita bisa memulai lagi."
Aku tidak mengerti arti ucapannya, dan aku tidak bertanya. Alih-alih, aku memejamkan mata dan memilih untuk menghindar dari hal besar yang seharusnya kuhadapi.
***
Hubunganku dengan Pak Rudy tidak bisa disebut mesra. Meski belakangan, aku merasakan ada perubahan dalam hubungan itu, tapi tak lantas aku bisa menyebutnya mesra.
Ya, aku mencintainya.
Namun, aku tidak yakin dengan perasaannya.
Selama ini, hubungan tersebut lebih banyak dilandaskan pada hubungan fisik. Seks dengan Pak Rudy menjadi salah satu penopang dalam hubungan yang rapuh itu.
Pernikahan ini tidak akan terjadi kalau saja aku tidak membutuhkan wali demi melindungi warisan Papa, dan Pak Rudy tidak ingin mengakuisisi perusahaan Papa. Pernikahan itu tidak memiliki cinta sebagai dasar. Meski belakangan cinta itu hadir, tapi tidak cukup kuat untuk menopang hubungan yang semu.
Semenjak keluar dari rumah sakit, aku merasakan hubunganku dengan Pak Rudy berubah. Aku merasa dia lebih dingin. Dia memang masih memperhatikanku. Pak Rudy bahkan sengaja bekerja dari rumah selama aku masih dalam proses penyembuhan.
Namun, bukan perhatian seperti itu yang kuinginkan.
Aku merindukan tatapannya yang menggebu-gebu, juga sentuhannya yang tidak pernah hilang dari tubuhku. Aku merindukan bagaimana rasanya diinginkan.
Karena sekarang, yang kurasakan justru sebaliknya.
Aku tidak diinginkan.
Aku menatap bayanganku di cermin. Sisa memar masih membayangi, meski mulai pudar. Jika dulu Pak Rudy tertarik kepadaku, sekarang sepertinya keajaiban itu sudah kehilangan sisi magisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Boss
RomanceLily bekerja sebagai sekretaris pengganti untuk Rudy Wiranegara, CEO Abdi Construction. Diam-diam, Lily menyukai Rudy. Masalahnya, Rudy yang berusia 42 tahun terlalu tua untuk Lily yang akan berulang tahun ke21. Dan juga posisinya sebagai atasan Lil...