45. Before I Close My Eyes (part 2)

23.5K 1.7K 45
                                    

Lily

Aku membuka mata dan mendapati diriku berada di ruang gelap yang pengap. Satu-satunya cahaya hanya dari lampu yang menyala ala kadarnya di langit-langit rendah ruangan ini. Aku tidak tahu di mana aku berada, yang pasti ini bukan apartemen Pak Rudy.

Pak Rudy.

Ingatan itu membuatku berdiri, tapi rasa pusing memaksaku kembali rebah ke dipan keras yang menyakitkan. Aku ingat ada yang memukul tengkukku sehingga tidak sadarkan diri.

Orang terakhir yang kulihat di parkiran adalah Om Danu. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya. Sebelum aku sempat bertanya apa tujuannya mencariku, aku telanjur pingsan.

"Sudah sadar kamu."

Aku bergidik ngeri saat mendengar suara bengis menyapa. Dari pintu di sudut ruangan, aku melihat Om Chandra.

Tidak ada Om Danu, tapi aku yakin dia bekerjasama dengan Om Chandra dan menculikku.

"Om mau apa?" Aku berusaha tenang, tidak mau Om Chandra menangkap nada ketakutan di balik suaraku.

Mataku menyisiri ruangan ini. Aku melihat jendela yang ditutup gorden sehingga menghalangi pemandangan keluar dan satu-satunya pintu hanya yang dilewati Om Chandra. Aku harus melewati Om Chandra jika ingin kabur.

Aku kembali mencoba berdiri, melawan rasa sakit yang menghantam kepalaku. Om Chandra bergerak mendekatiku. Aroma alkohol tercium dari tubuhnya, membuatku langsung mual.

Oh tidak. Anakku.

Sontak, tanganku terulur menuju ke perutku. Apa dia baik-baik saja?

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di sini. Tidak ada jam yang memberitahuku. Aku melirik ke meja kayu di seberang ruangan, di sana ada tas tangan milikku. Mungkin, handphone-ku masih ada di sana.

Di saat aku tengah mempertimbangkan apakah aku sanggup mendahului Om Chandra dan menyambar tas itu, dia memutus jarak denganku. Om Chandra menyeringai di hadapanku, menampakkan gigi kuningnya yang menjijikkan.

Apa yang dilihat Mama dari pria ini? Bagaimana mungkin Mama menggantikan posisi Papa dengan pria biadab seperti dia?

"Om mau apa?" Aku kembali menantangnya, meski yang terdengar hanya suaraku yang tercekat.

Om Chandra tertawa. "Kamu tidak bisa ke mana-mana, Lily. Sebentar lagi, kamu sudah tidak ada gunanya. Perusahaan ayahmu tidak ada artinya lagi."

Aku mengangkat tangan untuk mendorong Om Chandra, saat itulah aku melihat ada bekas ungu di jariku. Om Danu atau Om Chandra pasti memaksaku memberikan cap jari di saat aku tidak sadarkan diri.

Apa yang sedang mereka rencanakan? Menjual perusahaan itu ke Putratama?

"Untung kamu menikahi si tua bangka itu, jadi kamu tidak perlu takut akan menjadi gelandangan besok." Om Chandra terkekeh. "Itu juga enggak ada gunanya, karena malam ini juga kamu akan mati."

Tawanya memenuhi seisi ruangan ini.

Apakah Pak Rudy sudah mengetahui kalau aku tidak menunggunya pulang? Hanya dia harapanku. Ada setitik keyakinan di dalam hatiku bahwa di luar sana, Pak Rudy mencariku.

Aku tidak ingin berakhir di ruangan ini atau di tangan Om Chandra. Aku harus pergi. Aku mendorong tubuh Om Chandra. Dia tidak kuat berdiri akibat pengaruh alkohol, sehingga langsung sempoyongan sewaktu aku mendorongnya tiba-tiba. Tidak ingin membuang waktu, aku langsung berlari menuju pintu.

"Mau ke mana, hah?"

Aku menjerit saat ada yang menahan tanganku. Tubuhku ditarik dengan keras dan aku kembali dibanting ke dipan keras. Nyeri menjalari seluruh tubuhku, tapi aku tidak peduli.

Om Chandra kembali menerjangku di saat aku mencoba untuk bangun. Dia menindihku ke dipan keras itu, membuatku kesakitan. Wajahnya tampak mengerikan, sangat menjijikkan.

"Penggoda kecil, sebelum kamu mati, Om sudah lama mau merasakan tubuhmu." Om Chandra terkekeh.

Aku memberontak, berusaha untuk melepaskan diri. Menggunakan kaki, aku menendang Om Chandra. Dia semakin menekan tubuhku, membuatku kian memberontak.

"Kamu mau main kasar?" tawanya. Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Pandanganku langsung berkunang-kunang akibat tamparan itu.

Sambil tertawa kesetanan, Om Chandra kembali menamparku. Aku memperingatkan diri untuk tetap sadar. Kalaupun aku harus mati, aku tidak akan menyerah secepat itu.

Om Chandra mulai menggerayangi tubuhku, membuatku semakin memberontak. Aku tidak sudi disentuh oleh tangan kotornya.

Aku lebih memilih mati dari pada diperkosa oleh bajingan satu ini.

"Percuma melawan, Lily. Enggak ada siapa pun di sini."

Kedua tanganku ditahan dengan erat, dan aku memanfaatkan kakiku yang bebas. Beruntung Om Chandra setengah mabuk, sehingga dia cukup kewalahan saat aku melawannya. Saat dia hampir merobek gaunku, aku mengangkat lutut dan menyentaknya tepat di atas penisnya.

"Pelacur sialan." Om Chandra mengumpat kesakitan.

Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, nasib baik belum berpihak kepadaku.

Pintu terbuka dan Om Danu muncul di sana. Dia menatapku dan Om Chandra dengan amarah yang terlihat jelas di wajahnya.

Satu pertanyaanku, apa yang membuat Om Danu mengkhianati Papa?

"Sudah gue bilang, jangan main-main." Om Danu menghardik Om Chandra sebelum beralih menatapku. "Kamu sudah sadar."

"Om mau apa? Kalau Om mau perusahaan Papa, Om enggak perlu menculikku," balasku.

Om Danu tertawa, membuatku telingaku pekak.

Cengkeramannya di tanganku semakin erat ketika dia menarikku menuju dipan. Dia menghempaskanku di sana. Pandanganku kembali berkunang-kunang. Aku mencoba berdiri, tapi rasa sakit di sekujur tubuh membuatku menekan ujung dipan keras-keras agar tidak jatuh terhuyung.

"Kamu harus mati, biar suamimu itu tahu diri. Lagipula, Om tidak sedih kalau kamu mati, karena kamu bayaran setimpal untuk kebebasan Om." Itu kata terakhir Om Danu yang kudengar sebelum dia membekap hidungku.

Perlahan, aku kehilangan kesadaran.

***

Tamparan berkal-kali membuatku kembali sadar. Aku langsung berhadapan dengan wajah menjijikkan Om Chandra sewaktu membuka mata.

Aku berada di dalam mobil. Tubuhku terperangkap oleh seatbelt. Di sekelilingku gelap sehingga aku tidak tahu di mana keberadaanku saat ini."

"Dadah..." Om Chandra terkekeh.

Dia menekan gas sebelum menutup pintu. Mobil itu melaju begitu saja. Di tengah panik, aku menyambar setir dan berusaha mengendalikannya, tapi mobil ini berada di luar kendali. Aku menginjak rem berkali-kali, tapi mobil ini terus melaju. Om Chandra pasti sudah melakukan sesuatu pada rem mobil ini.

Tak jauh di hadapanku, aku melihat sebuah pohon besar. Aku berusaha memutar setir, berharap mobil ini bisa menuju ke arah lain. Namun, jarakku dengan pohon itu semakin dekat. Meski tahu sia-sia, aku terus menginjak rem.

Teriakanku menggema di dalam mobil. Teriakan putus asa saat aku sadar kematian telah menunggu di depan mata.

Aku terus menginjak rem, meski sia-sia. Pandanganku kabur akibat air mata. Teriakanku lenyap, berganti isak tanpa suara.

Satu-satunya yang kusesali saat ini adalah, aku belum sempat memberi tahu Pak Rudy bahwa aku mencintainya.

Aku memejamkan mata saat mobil menabrak pohon di hadapanku.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang