25. Morning Memory

43.1K 1.7K 20
                                    

Aku memenuhi undangan Om Cokro untuk sarapan di rumahnya. Sudah lama sejak kali terakhir aku menginjakkan kaki di sini. Waktu kecil, aku sering menemani Papa ke mana pun, termasuk bertemu rekan bisnisnya. Rumah Om Cokro adalah salah satu tempat yang sering kukunjungi, sehingga begitu aku tiba, emosi yang timbul akibat nostalgia begitu terasa. Kenangan bersama Papa begitu kental di sini. Saat aku sarapan dengan Om Cokro di halaman bekalang rumahnya, aku bisa melihat Lily berumur lima tahun dengan gaun pink bermotif bunga berlarian di halaman belakang ini sementara Papa bicara bisnis dengan Om Cokro.

"Terakhir kali kamu ke sini, kamu masih kecil. Sekarang kamu sudah besar. Kamu baik-baik saja?"

Pertanyaan Om Cokro memang sederhana, tapi caranya menatapku membuatku merasa tersudutkan. Om Cokro menuntut kejujuran dariku. Tadinya aku hampir mengangguk, tapi mengurungkan niat di detik terakhir. Hanya Om Cokro satu-satunya orang yang peduli pada Papa, dan aku berutang kejujuran padanya. Jadi, aku menggeleng.

"Aku baru tahu kalau perusahaan itu hampir bangkrut. Om Danu enggak pernah melibatkanku, aku tahu soal tuntutan hukum itu secara tidak sengaja," balasku.

"Kalau saja Om masih kuat, Om akan tetap di perusahaan itu dan semua ini tidak akan terjadi."

Aku pernah menyalahkan diriku, tapi aku sadar bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu juga dengan Om Cokro. Satu-satunya pihak yang bersalah di sini adalah Om Danu.

"Aku mau menyelamatkan perusahaan, Om," ujarku.

Om Cokro memaksakan diri tersenyum, tapi raut kesakitan di wajahnya tidak bisa berbohong.

"Danu ingin membeli saham Om. Dengan begitu, dia bisa menjual perusahaan itu pada Putratama. Om tidak pernah percaya sama cecunguk satu itu, makanya Om mempertahankan saham itu. Om yakin kamu akan datang," jelas Om Cokro.

"Kenapa Om enggak percaya sama Putratama?" Aku sudah mendengar penjelasan dari sudut pandang Pak Rudy. Aku ingin tahu pandangan Om Cokro.

"Om enggak suka dengan cara mainnya. Dalam bisnis, ada etika yang harus dijaga. Etika itu yang tidak dimiliki dia." Om Cokro menatap ke halaman belakangnya dengan mata nanar. "Sebelum bertemu ayahmu, Putratama adalah rekan bisnis Om."

Aku bergerak gelisah di tempat. "Apa yang terjadi?"

"Dia mengkhianati Om, menusuk dari belakang. Om hampir dipenjara atas tuduhan yang tidak pernah Om lakukan. Lalu, ayahmu menolong Om." Om Cokro menatapku. "Jangan sampai dia melakukan hal yang sama kepadamu. Danu hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri, dan dia tidak segan-segan melemparkan kesalahan kepadamu."

Fakta yang diutarakan Om Cokro mempertebal keyakinanku akan apa yang direncanakan Pak Rudy.

"Aku sudah menikah, Om." Aku berkata tiba-tiba.

Om Cokro menatapku dengan senyum di wajahnya.

"Suamiku atasanku di kantor," lanjutku. "Rudy Wiranegara."

Om COkro mengulang nama itu tanpa suara. Aku mencoba membaca air mukanya, dan rasa lega menyelimuti hatiku saat Om Cokro tersenyum.

"Om belum pernah bertemu dia, tapi Om sering dengar tentang dia. Kamu tidak salah pilih," timpalnya.

Ada rasa bersalah di hatiku karena membohongi Om Cokro.

"Dia akan mengakuisisi perusahaan Papa."

Om Cokro tidak langsung menjawab. Dia kembali menerawang ke halaman belakang. Meski dia tidak bersuara, aku bisa melihat otaknya yang berpikir cepat.

"Menurut Om gimana?" tanyaku.

"Kamu percaya sama dia?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Om Cokro balik bertanya. Aku tidak siap dengan pertanyaan itu.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang