10. After Dinner Effect

68.6K 2.3K 28
                                    

Sepertinya aku harus belajar pengendalian diri dari Pak Rudy. Sepanjang makan malam ini, hanya aku yang gelisah. Aku jadi penasaran, apakah Pak Rudy teringat kejadian tadi siang?

Tidak banyak waktu yang kupunya untuk menenangkan diri. Setelah berganti pakaian dengan yang lebih layak, aku menemani Pak Rudy meeting dengan rekan bisnisnya. Meeting ini berjalan lebih lama dibanding yang diperkirakan, sehingga tidak ada waktu untuk kembali ke kamar, karena makan malam selanjutnya diadakan di hotel tempat kami menginap.

Ucapan Pak Rudy terngiang di benakku, membuatku tidak bisa berkonsentrasi pada pertemuan ini. Aku berusaha memasang wajah penuh antusias, agar Mr. Smith merasa aku ikut terlibat dalam percakapan itu. Nyatanya, tidak ada satu pun yang masuk ke otakku. Kalau Pak Rudy memutuskan mengujiku, aku pasti hanya bisa bengong tanpa tahu jawaban atas apa pun pertanyaan yang mungkin diajukannya.

Pak Rudy tidak sengaja menyenggol lenganku ketika dia meraih gelas wine. Sentuhan ringan, tapi membuatku tercekat. Aku sampai harus pura-pura minum untuk menyembunyikan keterkejutanku.

Karena nyatanya, sentuhan ringan itu membuatku teringat kembali ke kejadian tadi siang. Rasanya, aku masih bisa merasakan tangan Pak Rudy yang kasar menyentuh payudaraku. Rasa nyeri akibat remasan yang ditinggalkannya masih terasa, tapi aku justru ingin merasakannya lagi. Juga ketika Pak Rudy mengulum putingku dengan bibirnya, memberikan gigitan ringan yang membuat tubuhku menggelinjang.

Rasanya begitu... surreal.

Namun, ini nyata. Pak Rudy menyentuhku. Dia memberikan pengalaman intim yang mengacaukan sistem pertahanan diriku.

"What do you think, Ly?" Pertanyaan yang diikuti sentuhan ringan di lengan, membuatku gelagapan. Aku menatap Pak Rudy, memaksa otakku memahami pertanyaannya, tapi tak ada satu pun yang terlintas di benakku.

"Lily belum bekerja dengan saya sewaktu saya merencanakan proyek ini, tapi saya yakin Lily pasti setuju kalau proyek ini akan menguntungkan kedua belah pihak," ujar Pak Rudy.

Ternyata mereka masih membicarakan proyek di Bintan.

Kini, dua pasang mata tertuju kepadaku. Aku menegakkan turun, mengenyahkan pikiran liarku jauh ke belakang kepala, dan berusaha menampakkan ekspresi profesional.

"Bintan is the new hub. Posisinya sangat strategis. IMHO, orang-orang akan mulai melirik Bintan sebagai tempat peristirahatan, mengingat jaraknya yang dekat dengan Singapura. Kehidupan metropolitan terasa, tapi pulau ini juga menawarkan ketenangan." Aku berdoa dalam hati semoga ucapanku tidak terdengar seperti bualan. "Dua hari saya di sini, saya sudah tertarik."

Pak Rudy tertawa ringan. "Kamu berminat membeli salah satu unit begitu proyek ini selesai?"

Aku ikut tertawa. "Why not? Dekat Singapura, mau belanja gampang."

Tentu saja itu hanya bualan. Aku enggak begitu suka belanja, jadi enggak butuh tinggal di tempat yang dekat dengan Singapura. Lagipula, uang dari mana untuk membeli unit yang dibangun Pak Rudy.

"Mungkin Pak Rudy yang ingin memiliki satu unit di sini," pancingku.

Pak Rudy mendekatkan gelas wine ke bibirnya. Sebaris senyum tipis tersungging di sana. dia menatapku dari balik gelas—tatapan gelap yang membara.

"If you want, I can do that."

Ucapannya nyatanya mampu membuatku berpikir terlalu jauh ke depan, karena aku membayangkan tinggal di pulau ini dengan Pak Rudy.

Sepanjang sisa makan malam, Pak Rudy tidak lagi mengajakku bicara. Kali ini, aku mati-matian berkonsentrasi pada pembahasan mereka. jangan sampai aku membual lagi ketika ditanya, sebagai akibat pikiranku yang sulit dikendalikan.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang