Lily
Aku kehilangan Papa secara tiba-tiba. Di detik ini, dia masih bercanda denganku. Namun detik setelahnya, aku kehilangan Papa.
Kepergian Papa meruntuhkan hidupku. Aku kehilangan pegangan. Tidak ada lagi tempat untuk berlindung. Dunia kecil yang kubangun bersama Papa, dirampas paksa dariku.
Selama bertahun-tahun, aku selalu mendatangi makam Papa jika merasa hidup terlalu mencekik. Aku akan berdiam di sana, berbaring di makam Papa, dan bercerita kepadanya. Aku ingin Papa tahu setiap momen penting di hidupku.
Hari ini, aku kembali ke makam Papa. Aku menceritakan semuanya. Pernikahanku. Aku jatuh cinta kepada Pak Rudy. Juga percobaan pembunuhan yang nyaris merenggut nyawaku. Aku juga bercerita soal anakku. Dan kini, aku tengah menghadapi perceraian yang membuat hatiku berdarah.
Hanya kepada Papa aku bisa menceritakan semuanya. Biasanya, ada perasaan lega setiap kali aku selesai memuntahkan semua isi hati di hadapan Papa. Meski hanya sepihak, aku tetap lega.
Kali ini berbeda. Sesak di dada masih ada sekalipun aku sudah mencurahkan semuanya.
"Apa keputusanku salah, Pa?" tanyaku.
Hanya desir angin yang menjawab pertanyaanku.
Aku ingin mendapat jawaban, entah dalam bentuk apa, bahwa keputusanku benar. Pergi dari Pak Rudy adalah pilihan yang tepat. Aku hanya ingin melindungi hatiku, sebelum berdarah kian dalam. Semakin lama aku bersama Pak Rudy, aku hanya membuat hatiku semakin hancur.
"Jujur, aku enggak mau bercerai, Pa. I love him. Aku mau mempertahankan pernikahanku, tapi aku enggak bisa. Aku ingat yang Papa bilang, bahwa Papa ingin aku menikah karena cinta. Aku sudah melanggar janjiku kepada Papa, itu yang sekarang kulakukan. Memperbaiki kesalahanku. Seharusnya berpisah membuatku tenang, tapi kenapa yang terjadi malah sebaliknya?"
Aku kembali terisak setelah menumpahkan semuanya.
Sesak itu tak kunjung hilang, malah semakin berat membebani.
Bahkan sampai matahari mulai hilang dan aku dengan enggan angkat kaki dari makam Papa, rasa sesak itu masih ada. Sedikit pun dia tidak hilang dari hatiku.
Aku kembali ke rumah. Di surat, aku memberitahu akan tinggal dengan Ibel. Itu tujuanku semula, berlindung kepada Ibel sementara aku berusaha untuk menata hidupku. Namun, aku berganti rencana di detik terakhir.
Ibel tidak akan mendukungku. Dia masih percaya bahwa pendapatku salah. Ibel yang romantis masih bersikeras dengan pendiriannya bahwa Pak Rudy juga mencintaiku.
Seharian, dia meneleponku. Aku merahasiakan kepadanya soal keberadaanku, sekadar meminimalisir risiko agar Ibel tidak memberitahu Pak Rudy. Jika dia masih ingin membuatku kembali kepada Pak Rudy, dia akan bersekongkol dengannya.
Jadi, aku kembali ke rumah peninggalan Papa.
Rumah itu kosong. Setelah Papa tiada, rumah itu berubah jadi mimpi buruk. Meski rumah itu menyimpan banyak kenangan indah dengan Papa, kenangan buruk bersama Mama dan Om Chandra juga ada di sana.
Mama tidak lagi tinggal di sana. Aku tidak peduli di mana dia. Kalau suatu hari nanti Mama ingin memperbaiki hubungan denganku, dia tahu ke mana harus mencariku.
Kembali ke rumah berarti membuka semua kotak memori yang sudah kututup rapat-rapat. Baik memori indah, maupun memori menyakitkan. Semula aku pikir aku tidak cukup kuat untuk menghadapinya, tapi yang kubutuhkan hanyalah satu langkah berani untuk menghapai masa lalu.
"Lily..."
Tanganku terpaku saat membuka kunci pintu. Suara itu... suara yang aku rindukan. Suara yang selalu meninggalkan kehangatan di hatiku, bahkan jika dia berada jauh sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Boss
RomanceLily bekerja sebagai sekretaris pengganti untuk Rudy Wiranegara, CEO Abdi Construction. Diam-diam, Lily menyukai Rudy. Masalahnya, Rudy yang berusia 42 tahun terlalu tua untuk Lily yang akan berulang tahun ke21. Dan juga posisinya sebagai atasan Lil...