Rudy
Dua puluh empat jam pertama merupakan waktu yang sangat krusial. Meski ada dokter yang lebih ahli dan selalu memantau Lily, aku tidak beranjak dari tempatku di luar ruang ICU. Aku tidak bisa berada di dekat Lily, sehingga hanya bisa melihatnya dari balik kaca.
Setelah masa kritis berlalu, Lily tidak menunjukkan tanda-tanda berubah jadi lebih baik. Rasa panik mulai menjalari tubuhku.
Bagaimana jika masa kritis itu tidak pernah usai?
Aku segera mengusir pemikiran buruk itu. Sekecil apa pun, harapan tetaplah harapan. Di dalam sana, Lily tengah memperjuangkan hidupnya. Seharusnya aku melakukan hal yang sama, bukannya sibuk berkubang dalam pikiran negatif.
Mataku tidak bisa beranjak dari sosok Lily. Selang yang tersambung ke tubuhnya membuat keadaannya terlihat memprihatinkan. Aku tidak bisa membayangkan betapa ketakutannya Lily, sendirian di dalam mobil yang melaju kencang tanpa bisa melakukan apa pun. Dan sekarang, dia pun tengah berjuang sendirian agar tetap hidup.
Aku pernah berjanji akan menjaganya. Juga berjanji semua akan baik-baik saja. Namun kenyataan malah sebaliknya. Kehadiranku justru menyebabkan Lily terbaring tak berdaya seperti ini.
Seharusnya aku melepaskan Lily, tapi aku hanyalah seorang pria egois yang mencintai Lily.
Aku tidak ingin kehilangan Lily.
She’s my life.
“Kita bisa gantian jagain Lily kalau lo mau pulang.”
Aku tersentak saat mendapati Ibel sudah berada di dekatku. Dua jam yang lalu, dia pulang ke apartemen. Dokter Ridwan menyuruhku pulang, karena tidak ada yang bisa kulakukan di sini. Namun, aku bergeming.
Pun sekarang, ketika Ibel menyuruhku pulang. Aku menggeleng dan tetap bergeming di tempat. Aku tidak ingin, begitu Lily sadar, dia tidak menemukanku di sini.
Waktu berjalan dengan sangat lambat. Setiap detik terasa begitu lama. Aku hanya beranjak dari tempatku menunggui Lily untuk ke kamar mandi, selebihnya aku tetap bergeming di tempat. Jika Ibel tidak memaksa, aku sudah lupa untuk mengisi perut.
Ibel tidak lagi menyuruhku pulang. Tanpa berkata apa-apa, dia ikut menunggu Lily membuka mata. Aku berharap pada ucapan Ibel, bahwa Lily tahu ada yang mencintainya kini tengah menunggunya sadarkan diri, dan dia berjuang melawan kematian yang membayanginya.
Aku sangat berharap pada keajaiban itu.
***
“Kondisinya sudah stabil, tapi kita harus menunggu sampai Lily sadar.”
Itu penjelasan dokter Ridwan, di hari ketiga setelah kecelakaan. Selama tiga hari itu, Lily masih belum sadarkan diri.
“Berapa lama?” tanyaku.
Dokter Ridwan menggeleng lemah. Dia pun tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.
“She’s fighting,” ujarnya.
Aku mengikuti arah pandangan dokter Ridwan ke balik kaca yang memisahkanku dengan Lily.
“Kamu bisa masuk, tapi jangan lama-lama,” ujar dokter Ridwan.
Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku mengikuti dokter Ridwan masuk ke ruang ICU dan mengenakan pakaian khusus, lalu memasuki ruangan tempat Lily terbaring.
Ruangan itu hening. Hanya ada bunyi detak jantungnya yang terdengar di monitor. Bunyi itu terdengar lemah, meski stabil. Aku tidak pernah mendengarkan bunyi yang penuh harapan, selain detak jantung Lily yang tengah berjuang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Boss
RomanceLily bekerja sebagai sekretaris pengganti untuk Rudy Wiranegara, CEO Abdi Construction. Diam-diam, Lily menyukai Rudy. Masalahnya, Rudy yang berusia 42 tahun terlalu tua untuk Lily yang akan berulang tahun ke21. Dan juga posisinya sebagai atasan Lil...