2. Godaan Malam

123K 3.1K 13
                                    

Rudy

Masalah tender dan pengadaan bahan konstruksi tidak akan terjadi kalau saja pihak yang bertanggung jawab berkompeten dalam pekerjaannya. Ini tahun kelima aku memimpin perusahaan dan masalah yang sama terus terulang.

Posisi strategis yang tidak diisi oleh orang yang kompeten.

Adhi Construction pernah berjaya, tapi krisis membuat perusahaan ini tersendat. Ditambah dengan karyawan yang tidak bisa bekerja dengan baik tapi menduduki posisi strategis. Keadaan perusahaan jadi kacau balau.

Om Hasan, pemilik perusahaan hampir menyerah. Dia nyaris menyatakan bangkrut karena tidak bisa lagi menyelamatkan perusahaan.

Saat itu, aku masih bekerja sebagai venture capital berbasis di Singapura. Om Hasan teman orang tuaku, jadi ketika dia meminta bantuan, aku tidak bisa menolak. Apalagi saat melihat keadaan perusahaan, aku yakin masih bisa diselamatkan.

Ini tantangan yang kubutuhkan.

Aku meminta Om Hasan untuk memberiku kesempatan. Setelah mendapatkan investor, aku berusaha mengembalikan perusahaan. Syaratnya cuma satu, aku meminta kekuasaan penuh. Om Hasan setuju, dan aku memecat orang yang tidak perform dan menggantinya dengan orang yang tepat. Dalam tiga tahun, aku berhasil mengembalikan keadaan. Namun, Om Hasan memutuskan untuk pensiun dan menyerahkan posisinya kepadaku.

Pekerjaanku belum selesai. Masih ada beberapa pihak yang ingin kuganti, terlebih sekarang aku merencanakan pengembangan konstruksi ke bidang bangunan publik di negara luar.

Banyak yang menyebutku bertangan dingin karena memecat banyak karyawan, padahal mereka sudah bekerja selama puluhan tahun. Setia tidak penting selama menghambat produktivitas perusahaan.

Aku percaya, apa pun posisinya, punya peranan penting.

Termasuk sekretaris.

Dini tadinya bekerja untuk Om Hasan. Dia sekretaris yang bisa diandalkan. Cukup cekatan. Namun, di kamusku, cukup berarti gagal. Dia tidak bisa mengimbangi tanggung jawab yang kuberikan. Pekerjaanku seringkali berantakan karena Dini yang kewalahan.

Ketika dia cuti hamil, aku bertemu Lily. Dia memiliki semua kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi sekretarisku. Aku cukup memberi instruksi satu kali, dia langsung mengerti. Lily punya inisiatif tinggi. Dia juga bertanggung jawab. Dan, yang paling penting, dia punya time management yang bagus sehingga semua pekerjaanku bisa berjalan dengan baik.

Aku bahkan mempertimbangkan untuk mempertahankan Lily begitu Dini selesai cuti.

Bukan berarti Lily bebas masalah. Justru masalah yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Dia langsung menyita perhatianku sejak pertama kali melihatnya. Wajahnya yang cantik, dengan pulasan makeup minimalis, memberikan kesan innocent yang menggoda. Bibir penuhnya yang sering terbuka saat dia sedang berkonsentrasi. Lily punya tubuh mungil, tapi memiliki lekuk sempurna yang menggiurkan--dada menonjol, pinggang ramping, dan bokong bulat sempurna.

Lily mengingatkanku bahwa sudah lama sejak terakhir kali aku merasakan tubuh perempuan. Setiap kali melihatnya, tubuhku memberikan reaksi berbeda. Namun, aku menahan diri.

For God sake, she's so young. Paling baru di awal dua puluhan. Aku tidak mau menjadi creepy yang menggerayangi perempuan muda.

Malam ini, Lily membuat batas kesabaranku habis.

Mataku tertuju ke layar laptop yang menampilkan aplikasi pesan chat. Di sana ada foto yang dikirimkan Lily.

Foto dirinya setengah telanjang. Payudaranya yang bulat sempurna, membuatku membayangkan tanganku saat menggenggam dan meremasnya dengan penuh nafsu. Mataku tertumbuk ke putingnya--cokelat dan menonjol. Sangat menantang. Aku bisa merasakan betapa nikmatnya saat melarikan lidahku di sana.

Shit.

Selama ini aku membayangkan apa yang tersembunyi di balik pakaiannya. Hal itu saja sudah membuatku sering terbangun dalam keadaan ereksi karena memimpikan Lily.

Foto ini tidak sesuai dengan bayanganku. Jauh lebih indah dibanding yang kubayangkan. Bagaimana jika aku melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri?

Shit.

Aku mengenali latar belakang selfie itu. Juga pakaiannya. Artinya, Lily mengambil potret dirinya hari ini.

Sial.

Sambil menggeram, aku menyudahi meeting dan memanggil Lily.

Dia memasuki ruanganku dengan langkah hati-hati. Lily terlihat capek dan aku merasa bersalah. Sudah seminggu ini dia terpaksa lembur karena mengikuti jadwalku.

"Pak Rudy manggil saya?" Tanyanya.

Alih-alih menjawab, mataku malah menelusuri tubuhnya. Dia memakai kemeja biru tua dan rok senada. Aku menelan ludah saat menyadari kancing kemejanya tidak terpasang sempurna. Dia pasti terburu-buru setelah memotret dirinya.

"Apa maksudmu mengirim foto ini?"

Kening Lily berkerut. "Foto apa, Pak?"

Aku tersenyum tipis. Dugaanku benar. Dia tidak sengaja mengirim foto itu kepadaku. Aku mengumpat dalam hati, kesal membayangkan ada pria lain di luar sana yang seharusnya menerima foto itu.

Aku memutar laptop hingga menghadap Lily. Dia terkesiap. Wajahnya memerah saat melihat foto itu.

"Kok Bapak bisa punya foto ini?" Tanyanya panik.

Aku tertawa kecil. Melihat tingkahnya memberikan hiburan tersendiri.

"Kamu yang kirim."

Lily merogoh kantung rok dan mengeluarkan ponsel. Entah apa yang dicarinya, tapi wajahnya makin memerah saat menyadari apa yang sudah dilakukannya.

"Pak, maaf. Tadi saya lagi chat sama teman." Dia berkata cepat.

"Beruntung banget temanmu." Aku tertawa kecil sementara Lily semakin panik.

"Saya... ng ..."

Tawaku semakin pecah melihatnya yang kehabisan kata-kata.

"Malam ini saya yang beruntung menerima foto itu," seruku sambil menutup laptop.

Lily menggigit bibirnya. Bukan tindakan yang bijak karena aku membayangkan tubuh telanjangnya sementara dia menggigit bibir seperti itu.

"Maaf, Pak."

Aku bangkit berdiri dan mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi, lalu mendekati Lily.

"Saya anggap kamu sedang mengantuk atau capek karena seminggu ini lembur. Kebetulan saya besok ada pekerjaan di Bandung, jadi kamu bisa libur. Long weekend for you." Itu hanya alasanku saja karena aku harus menjauhkan diri dari Lily sebelum lepas kendali.

"Makasih, Pak." Meski masih panik, Lily tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

Aku meliriknya sekilas, melihat kancingnya yang tidak terpasang sempurna. Seharusnya aku menjauh, tapi yang kulakukan malah mendekatinya.

Tanganku terulur dan membuka kancing kemeja itu. Samar, aku merasakan tubuhnya menegang. Saat itulah aku melihat bayangan putingnya yang mengeras dari balik kain tipis itu.
Sial, dia tidak memakai bra.

Seharusnya aku memperbaiki letak kancingnya. Bukannya berlama-lama di sana. Namun yang kulakukan malah berdiam diri sambil memandanginya.

Lily mengambil satu langkah mundur dan kesadaranku kembali.

"Lain kali, pakai baju dengan benar," ujarku dan memasang kembali kancing kemejanya di lubang yang seharusnya.

Dan, aku meninggalkannya sambil mengutuk tindakanku barusan. Lily benar-benar mengancam pengendalian diriku.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang