41. Make Love to Me

42.1K 1.9K 38
                                    

Aku sedang bergelung di sofa sementara televisi menayangkan dokumenter true crime yang tidak sedikit pun masuk ke otakku. Meski pandangan mataku tertuju ke televisi, otakku tengah mengembara entah ke mana.

Sepanjang hari ini aku memikirkan, bagaimana cara memberi tahu Pak Rudy? Aku tidak bisa menyembunyikan rahasia ini selamanya. Cepat atau lambat, dia akan mengetahui kehamilanku. Kecuali…

Aku menggeleng keras. Opsi menggugurkan kandungan langsung kucoret.

Bukankah impianku adalah memiliki keluarga? Sekarang, ada darah dagingku di rahimku. Aku tidak mungkin menyingkirkannya.

Mempertahankannya adalah opsi terbaik. Sedikit pun aku tidak ragu untuk melanjutkan kehamilan ini, meski membayangkan akan menjadi ibu tunggal cukup membuatku takut.

Pak Rudy pernah menyinggung soal keinginannya untuk tidak mau punya anak. Kehadiran bayi ini begitu tiba-tiba. Aku tidak yakin Pak Rudy menginginkannya. Aku cukup mengenalnya, dia sangat berpegang teguh pada pendirian. Bayi ini mungkin saja tidak mampu menggoyahkan pendiriannya.

Terlebih, pernikahanku akan segera berakhir.

Aku menghela napas. Spontan, tanganku bergerak menuju perut. Semoga bayi ini memaafkanku jika aku bersikap egois, mempertahankannya meski tahu hanya ada aku seorang diri yang membesarkannya.

Pertanyaan besar masih belum terjawab. Bagaimana cara memberi tahu Pak Rudy?

Aku masih larut dalam pikiran ketika sensor pintu terbuka. Masih sore, Pak Rudy menepati janjinya untuk pulang cepat.

“Lily?” panggilnya.

Aku menoleh ke balik pundak tanpa mengubah posisi. Keningnya berkerut saat melihatku bergelung di dalam selimut.

“Kamu masih sakit?”

Pak Rudy mendekat. Hidungku langsung mencium aroma parfum yang menyengat. Biasanya aku menyukai aroma parfum itu, tapi sore ini aku malah ingin muntah saat menciumnya.

Aku mendorong tubuh Pak Rudy yang berada di dekatku untuk mengecek keadaanku. “Kok pakai parfumnya banyak banget?”

Kerutan di keningnya semakin dalam. “Biasa aja.”

Aku menutup hidung, berusaha agar aroma itu tidak membuatku memompa isi perut dan memuntahkanya.

“Oke, saya mandi dulu. Saya cuma mau mastiin kamu baik-baik saja?”

Aku mengangguk meski dalam hati berteriak aku tidak baik-baik saja. Setelah meyakinkanku berkali-kali bahwa aku baik-baik saja, akhirnya Pak Rudy beranjak menjauh.

Ketika dia kembali, dalam keadaan fresh dan tetes-tetes air yang turun dari rambutnya, aku masih bergeming di tempat. Pak Rudy hanya mengenakan kaus pas badan yang mencetak tubuhnya dengan sempurna. Kaus itu tidak bisa menyembunyikan otot perutnya yang menggoda.

Aku menelan ludah. Dia tampak begitu menggairahkan.

Pak Rudy menyibak selimut yang kupakai dan menempati sofa yang sama denganku. Dia merentangkan tangan di punggung sofa dan menarikku hingga bergelung di pelukannya.

“Polisi masih menghubungi Pak Rudy?” tanyaku.

Selama sesaat, tubuhnya menegang. Aku cukup sensitif untuk menyadari perubahan itu.

Aku mendongak untuk menatapnya. “Aku mau tahu yang sebenarnya.”

Tatapan Pak Rudy terasa lembut saat menatapku. Tangannya memainkan rambutku. “Danu menghilang.”

Aku terkesiap. Selama sesaat, aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Keluarganya juga tidak tahu dia di mana,” lanjut Pak Rudy.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang