40. Kecamuk Pikiran

26.6K 1.9K 53
                                    

40. Kecamuk Pikiran

Bagaimana aku bisa abai pada kondisi tubuhku, sampai-sampai tidak menyadari bahwa aku tidak lagi mengalami menstruasi?

Sebuah teriakan tertahan keluar dari mulutku. Aku menutup mulut saat kenyataan menghantamku.

Ini tidak boleh terjadi.

Seorang anak seharusnya tidak boleh ada dalam pernikahan pura-pura.

Aku menatap pantulan bayanganku di cermin. Semalaman, aku tidak bisa tidur karena memikirkan kemungkinan saat ini aku tengah berbadan dua. Selama ini, aku meminum birth control. Apa pengamaman itu tidak cukup?

Ingatanku melayang ke salah satu percintaanku dengan Pak Rudy. Saat itu, dia lupa memakai kondom dan aku belum mengonsumsi pil. Bisa saja ada spermanya yang berhasil menyatu dengan sel telurku saat itu.

Atau di saat lain. Malam-malam penuh gairah yang kuhabiskan dengan Pak Rudy. Di salah satu percintaan panas itu, bisa saja salah satunya menghasilkan bayi di perutku.

Aku menggeleng. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan.

Suara ketukan di pintu kamar mandi memecah lamunanku. Tak lama, Pak Rudy melongokkan kepalanya di sana.

"Cuma mau mengecek, kamu sudah lama di kamar mandi," serunya.

Aku mengusir semua kegundahanku dan tersenyum. Setelah satu tarikan napas panjang, aku keluar dari kamar mandi.

"Kamu pucat," ujar Pak Rudy. Matanya tampak awas saat menatapku.

Aku kembali memaksakan untuk tersenyum. "Aku baik-baik saja. Kita berangkat sekarang?"

Pak Rudy bergeming di tempat, matanya yang tajam masih mengawasiku.

"Kamu bisa istirahat kalau memang sakit."

Meski sangat ingin ditinggal sendiri di apartemen, agar aku bisa membeli test pack dan mengecek apakah aku benar hamil, tapi aku tidak mau melakukannya. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.

"Yuk, ada meeting pagi." Aku menggandeng lengan Pak Rudy.

Meski dia masih terlihat khawatir, akhirnya Pak Rudy mengikutiku untuk berangkat ke kantor. Dia ada meeting pagi di Mahakarya, makanya aku bisa berangkat bareng dengannya.

Sepanjang di perjalanan, aku sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari celah agar aku bisa membeli alat tes kehamilan. Sampai-sampai aku tidak mendengar pertanyaan Pak Rudy.

"Ya?"

Pak Rudy melirikku sekilas sebelum memarkir mobil. "Kalau sakit, kamu izin pulang cepat. Nanti saya cek jadwal, kalau memungkinkan saya juga akan pulang cepat.

Aku menyentuh lengannya. "I'm fine."

"You're not fine. Kamu pucat kayak orang sakit," bantahnya.

Ingin rasanya memberitahu bahwa aku tidak sakit. Melainkan, aku tengah hamil anaknya.

Aku mengunci mulut rapat-rapat. Masih terlalu dini untuk memberitahu Pak Rudy di saat aku sendiri belum mendapat kepastian.

Pak Rudy tidai lagi mencecarku. Saat meeting, aku berusaha berkonsentrasi. Hatiku teriris saat mendengarkan Bu Lena menjabarkan kondisi Mahakarya saat ini.

"Pertama-tama, kita harus melepaskan diri dari kasus hukum ini. Untung bagi kita, Danu menandatangani semua dokumen penting atas nama pribadi. Jadi kita bisa melimpahkan semua masalah kepadanya," jelas Bu Lena.

Aku baru tahu bahwa Om Danu ingin mendapatkan keuntungan besar. Dia melakukan korupsi pada proyek ini. Tindakannya jadi bumerang karena sekarang dia yang harus bertanggung jawab.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang