42. The Father

31.7K 1.8K 62
                                    

“Gue hamil.”

Pengakuanku membuat Ibel menyemburkan minuman yang tengah diteguknya. “You what?”

Ada rasa asing di lidahku saat mengutarakannya terang-terangan. Seolah, dengan tidak mengutarakan secara langsung, kehamilan itu tidak nyata.

Aku menarik napas panjang. “Gue hamil,” ulangku.

Ibel meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja. “Kok bisa?”

“Karena ada sperma yang menyatu dengan sel telur gue?”

Kerutan di kening Ibel semakin dalam. “Who’s the father?”

Sebaris tawa kering meluncur dari bibirku. “Siapa lagi?”

Selama beberapa saat, Ibel hanya bisa melongo menatapku. Bukan seperti ini tanggapan yang kuharapkan dari Ibel. Aku meringkuk semakin dalam ke sofa milik Ibel dan menyelimuti diriku dengan selimut, sementara Ibel masih berusaha mencerna pengakuanku.

“Rudy?” tanyanya, yang kujawab dengan anggukan. “Kok bisa?”

“Because we had sex?”

Ibel menarik selimut yang kujadikan sebagai tameng, dan menjauhkannya dariku. Ibel menarikku hingga duduk tegak. Kedua tangannya menahan pundakku.

“Gue juga tahu lo bisa hamil karena seks. Maksud gue, dia, kan kaya. Enggak bisa gitu beli kondom? Atau keluarin di luar? Atau lo…” Ibel menunjukku. “Birth control does exist, Babe.”

Aku mendengkus. “I know. Tapi…” Aku tidak menyelesaikan ucapanku. Buktinya, aku tetap hamil, terlepas dari semua bentuk pencegahan yang kulakukan.

Ibel menggeleng kencang. “Wait, mundur lebih jauh lagi. Kenapa lo bisa tidur sama dia?”

Kini, giliranku yang menatap Ibel dengan kening berkerut. “Karena dia suami gue.”

“The fake one.”

Jawaban sederhana dari Ibel membuatku terdiam. Ibel benar, meski di atas kertas dia adalah suamiku, nyatanya pernikahan ini hanya sekadar sandiwara.

“Seharusnya enggak ada seks kalau pernikahan ini pura-pura,” lanjut Ibel.

“Lo sendiri yang suka ngegodain gue,” elakku.

Ibel mengernyitkan hidung. “Iya, sih, tapi gue enggak nyangka bakal sampai segininya. Gue pikir, sekali aja udah.”

Aku tidak menyahut tuduhan Ibel.

“Kalau sampai berkali-kali, kemungkinannya karena doyan atau…” Ibel menatapku dengan mata menyelidik. “Kalian enggak lagi pura-pura.”

Sekali lagi, aku hanya bisa menghela napas panjang. Aku sengaja membuang muka, tapi Ibel tidak memberikanku kesempatan untuk mengelak. Tidak biasa-biasanya Ibel bisa diam dalam waktu lama, dan menghadapi keterdiaman Ibel membuatku semakin terdesak.

“Gue enggak pernah merasa ini pura-pura, Bel.” Aku berkata pelan. “Pernikahan itu memang sandiwara, tapi caranya menyentuh gue, mencium gue…. gue sudah lupa kalau pernikahan ini pura-pura. Rasanya… nyata.”

Pikiranku melayang ke percintaan semalam. Pak Rudy memperlakukanku dengan lembut, membuatku terlarut dalam pesonanya. Dia melambungkanku lewat sentuhan, ciuman, dan hentakannya di dalam tubuhku. Dia memberikan pengalaman seks berbeda yang kuyakin tidak akan pernah bisa ditandingi.

“Setiap kali dia menyentuh gue, gue lupa kalau dia suami pura-pura gue,” bisikku. Aku menundukkan tangan, memainkan jari-jariku. Ada sesak di dadaku saat menyadari sudah sejauh mana hubungan ini melenceng dari tujuannya semula. “Awalnya gue pikir seks ini hanya sebatas seks. Pelampiasan kebutuhan semata. Tapi… it feels real. He feels real.”

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang