33. Mencari Rumah

35.4K 1.6K 34
                                    

Aku memandang sekeliling, meneliti wajah ini satu per satu. Mereka sudah lama bekerja dengan Papa, tapi aku tidak yakin mereka masih setia kepada Papa. Aku tidak ada apa-apanya dibanding Papa. Tidak ada pengalaman yang bisa membantuku meyakinkan mereka untuk mendukungku.

Berbeda dengan Om Danu, yang sudah menjalankan perusahaan ini sejak Papa tidak ada. Meski sekarang posisinya terpojok, ada masanya Om Danu menjalankan fungsinya dengan baik.

Sementara aku hanya anak kemarin sore yang menceburkan diri ke dalam masalah ini.

Aku menutup presentasiku, berharap penjelasanku bisa diterima dengan baik. Aku sempat gugup ketika memulai presentasi, sehingga sedikit terbata-bata. Semoga kegugupan itu tidak lantas membuatku sangat tidak profesional. Meeting ini sangat penting, karena aku butuh suara dan dukungan agar proses akuisisi ini berhasil. Meski posisiku sebagai pemilik saham utama menguntungkanku karena bisa mengambil keputusan sepihak, aku tidak ingin melakukannya. Aku tidak mau menjadi si tangan besi. Karena itulah, aku berharap banyak akan hasil yang kudapat.

"Lily, Abdi Construction belum berpengalaman dalam membangun kompleks perumahan," sanggah Pak Yakub, salah satu orang penting di perusahaan ini.

Sanggahan ini sesuai prediksi. Pak Rudy sudah memperingatkanku, akan ada pihak yang meragukan kapabilitas Abdi Construction untuk mengakuisisi Mahakarya, mengingat proyek yang ditangani berbeda. Jika Abdi fokus ke commercial building, Mahakarya membangun rumah. Belakangan, Om Danu membawa proyek ke commercial building, yang kemudian menjadi bumerang hingga akhirnya merugi total.

"Dengan pasar berbeda, Abdi akan memberikan support penuh kepada kita. Mereka tidak akan menyasar proyek perumahan, sehingga akan tetap menjadi tanggung jawab kita." Aku menatap Om Danu tajam. "Kita pernah mencoba commercial building dan gagal. Malah yang terakhir berakhir di kasus hukum yang sampai sekarang belum selesai. Sudah saatnya kita kembali ke core business Mahakarya."

Aku ingat Papa pernah bercerita. Papa ingin membangun rumah. Masa kecil yang berat membuat Papa menginginkan sebuah rumah tempat dia bisa tinggal bersama keluarganya. Papa berhasil mewujudkan rumah impiannya, karena itulah Papa bertekad akan membangun rumah demi rumah, membantu orang lain mewujudkan rumah yang diimpikan.

"Dengan support penuh, kita bisa menjangkau pasar yang lebih luas," lanjutku.

Om Danu tidak bersuara. Dia bahkan tidak menyembunyikan keengganannya untuk mengikuti meeting ini. Sejak tadi, dia sibuk dengan pekerjaannya lain.

Ruang meeting mendadak hening ketika pintu dibuka. Mama muncul di sana. Matanya langsung menatapku tajam. Dari seberang meja, aku bisa merasakan aura kebenciannya.

Mama mengambil tempat di samping Om Danu. Entah apa yang dibisikkannya, senyum culas di wajah Om Danu membuatku memaksimalkan kewaspadaanku.

"Silakan voting." Om Danu akhirnya buka suara. "Saya cuma mau meminta kalian pikirkan matang-matang. Putratama jauh lebih besar, yang artinya kita akan mendapat keuntungan yang jauh lebih besar dibanding mengikuti rencana ini. Lagipula..." Om Danu menatapku dengan senyum meremehkan. "Saya tidak percaya pada anak ingusan yang enggak mengerti apa-apa."

Mama tertawa sinis, meningkahi ucapan Om Danu.

"Janji yang diberikan Putra lebih realistis. Ketimbang Rudy. Saya bukannya menyerah pada perusahaan ini, tapi tinggal menunggu waktu sampai perusahaan ini bangkrut," lanjut Om Danu.

"Masih ada harapan. Saya yakin, kita bisa bangkit." Aku menatap semua peserta meeting satu per satu. "Saya memang belum berpengalaman, tapi kalau ada yang sangat mengerti dan mencintai perusahaan ini, sayalah orangnya."

Mama kembali mendengkus. "Tahu apa kamu soal perusahaan."

"Saya mengerti arti integritas dan kejujuran, dua hal yang tidak ada selama kepemimpinan Om Danu, dan itulah yang menyebabkan perusahaan ini bergerak mundur," serbuku.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang