Epilog: Forever and For Always

53.3K 1.6K 43
                                    

Aku tidak bisa menahan senyum saat melihat kue dengan lilin berbentuk angka 21 di atasnya. Kue ulang tahunku.

Perayaan penting pertama yang kulewatkan bersama suamiku.

"Jangan lupa make a wish."

Aku mengikuti permintaan Rudy. Sambil memejamkan mata, aku mengutarakan keinginan.

Dulu, aku pernah meminta agar Papa mengirimkan seseorang untuk menggantikannya menjagaku. Di saat aku berada di titik terendah dan tidak memiliki satu pun tempat bersandar, aku mengutarakan keinginan yang sama berkali-kali di setiap ulang tahunku.

Keinginan itu terjawab, di saat aku tidak lagi berharap. Sekarang, aku tidak sendiri lagi. Ada Rudy bersamaku.

Aku membuka mata dan langsung bersitatap dengan mata paling jernih yang pernah kulihat. Mata yang selalu menatapku dengan penuh cinta. Mata yang membuatku yakin bahwa semua akan baik-baik saja.

Kali ini, aku mengutarakan permintaan baru.

Keinginanku sederhana, aku ingin agar kebahagiaan ini selalu mengiringi setiap langkahku.

Aku mencondongkan wajah dan meniup lilin. Apinya bergoyang ketika terkena embusan napasku, sebelum kemudian padam dan meninggalkan sisa asap tipis.

"Selamat ulang tahun, Sayang." Rudy meraihku ke pelukannya. Dia mendaratkan ciuman di bibirku. "Dua puluh satu?"

Aku menyengir lebar. Mendekati hari ulang tahunku, dia sering uring-uringan. Menurutnya, waktu tidak adil kepada dirinya. Mengapa aku harus terlahir dengan jarak yang jauh dari dirinya?

Takdir selalu punya caranya sendiri.

"You're so young."

Aku terkekeh. Belakangan, dia selalu mengeluhkan hal yang sama.

"Oke, setelah ini aku harus lebih giat lagi." Rudy menyodorkan pisau kepadaku dan memintaku memotong kue.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Olahraga. Aku harus hidup sehat, Lily."

Aku menunjuk kue dengan daguku. "Kamu enggak mau mencicipi kue ulang tahunku?"

Rudy mengernyitkan hidungnya. "No, thanks. Too much sugar. I should keep an eye for my body."

Aku meletakkan pisau di atas meja dan menghambur ke pelukannya. "Come on, jangan lebay deh."

Rudy menjawil hidungku. "I'm twice your age. Jadi, kamu terima aja kalau aku lebay. Aku mau hidup lama bersamamu."

Hilang sudah semua candaan yang siap kulontarkan karena lidahku mendadak kelu. Meski terdengar bercanda, aku menangkap kesan serius di baliknya.

"Aku juga mau hidup lama bersamamu," balasku.

Rudy tersenyum. "And you, Baby, enjoy your younger days."

Aku melingkarkan lengan di lehernya. "Siapa bilang aku enggak menikmati masa mudaku? Enggak semua perempuan seberuntung aku, bertemu cinta sejatinya dengan cepat."

"Aku cinta sejatimu?"

Aku mengangguk tanpa keraguan. Hatiku sudah memilih dia. Selain Rudy, aku tidak yakin bisa jatuh cinta kepada pria lain. Hanya dirinya yang membuatku merasa seperti ini. Aku membutuhkannya seperti dia membutuhkanku. Aku menginginkannya seperti dia menginginkanku.

"Berhubung sekarang kamu sudah berumur 21 dan aku enggak perlu jadi walimu lagi, ada beberapa poin yang harus kita bahas." Rudy berkata tegas. Nada bicaranya mengingatkanku setiap kali dia memimpin meeting. Tegas dan autoritatif, membuat semua orang mengangguk di hadapannya tanpa ada yang berani membantah.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang