8. Curiga

78.2K 2.5K 14
                                    

Aku menatap ke dalam ruangan Pak Rudy dengan perasaan canggung. Kejadian kemarin masih terekam dengan jelas di benakku. Mimpi erotis semalam, yang membuatku terbangun dengan napas terengah-engah dan kewanitaanku yang sangat lembap cukup jadi bukti bahwa aku semakin menginginkan Pak Rudy.

Begitu Pak Rudy muncul di kantor pagi ini, sekuat tenaga aku menahan pandangan agar tidak terarah ke selangkangannya. Penisnya memenuhi mimpiku. Di mimpiku, Pak Rudy terlihat begitu gagah dengan penisnya yang besar dan membuatku berlutut menyerah di hadapannya.

Rasanya aku masih bisa merasakan penisnya yang keras menusuk bokongku. Perasaan yang membuatku gelisah sepanjang malam, bahkan sampai siang ini.

Dering telepon mengagetkanku. Interkom yang hanya terhubung dengan telepon di ruangan Pak Rudy.

Artinya, dia memanggilku.

"Be professional," tegurku pada diri sendiri.

Aku berdiri dan berkali-kali menarik napas panjang meredakan debaran di dadaku. Aki bahkan mematut penampilanku, sekadar memastikan tidak ada bagian yang terlepas. Gemuruh di dadaku begitu hebat saat aku melangkah ke ruangan Pak Rudy.

Pak Rudy tidak mengangkat wajah dari laptop begitu aku masih. Bahkan hingga aku sampai di dekatnya. Kerutan di keningnya begitu dalam, membuatku mengutuk kebodohanku sendiri. Pak Rudy bisa bersikap profesional, kenapa aku tidak?

"Saya ada meeting untuk proyek di Bintan besok. Kamu urus kebutuhan saya di sana. Kamu juga ikut saya," ujar Pak Rudy.

Sebagai sekretaris, sudah seharusnya aku ikut ke mana pun atasanku pergi. Termasuk ke Bintan. Tidak ada yang salah dengan perintahnya.

Namun, justru pikiranku yang harus dibenahi. Bisa-bisanya aku berpikir liar. Bintan hanya urusan pekerjaan, tidak ada hubungannya dengan kebutuhanku yang makin tidak terkendali.

Pak Rudy memberi tahu tentang business trip ke Bintan, sementara aku mencatat semua informasi tersebut sambil berusaha bersikap profesional.

"Nanti saya ada tamu, Pak Hasan. Dia belum bikin janji, tapi langsung disuruh masuk saja." Pak Rudy mengakhiri ucapannya.

"Baik, Pak." Aku sudah memutar tubuh untuk beranjak pergi ketika Pak Rudy memanggilku.

Aku berbalik dan mendapati Pak Rudy sudah beranjak dari kursinya. Tubuhku menegang seiring dengan Pak Rudy yang semakin dekat denganku.

"Ada ajakan main golf di Bintan. Kamu temani saya." Pak Rudy menyerahkan kartu kredit ke hadapanku. "Kamu bisa belanja apa saja yang kamu butuhkan."

Alih-alih menerimanya, aku malah terpaku di tempat.

"Lily, kamu enggak mungkin ikut saya ke lapangan golf dengan sepatu itu," lanjut Pak Rudy.

Mataku ikut turun hingga menatap sepatu hak tinggi yang kupakai.

"Ini kartu kredit kantor. Mulai sekarang, kamu yang pegang. Jadi kalau butuh apa-apa, kamu tidak perlu menghubungi orang finance. Tadinya Dini yang pegang, dan berhubung dia masih cuti, sekarang kamu yang bertanggung jawab," tegasnya.

Rasanya ingin mengantukkan kepala ke dinding untuk mengutuh kebodohanku sendiri. Bisa-bisanya aku berpikir Pak Rudy yang ingin membayar belanjaanku.

Dengan wajah bersemu merah, aku menerima kartu tersebut. Aku menggumamkan terima kasih, lalu angkat kaki dari hadapan Pak Rudy.

Aku pun menyibukkan diri dengan mengatur semua jadwal Pak Rudy selama di Bintan. Aku tertarik ketika tahu Pak Rudy mau bekerjasama dengan developer untuk mengembangkan kompleks perumahan mewah di Bintan. Hal tersebut membuatku teringat pada Om Danu.

Meski sama-sama bergerak di bidang konstruksi, Abdi Construction jelas lebih besar dibanding Mahakarya Konstruksi milik Papa. Satu lagi alasanku bekerja di sini, karena aku penasaran dengan sepak terjang Pak Rudy yang mampu membuat perusahaan yang tadinya hampir bangkrut, kini berada di puncak kejayaan.

Setelah pekerjaanku selesai, aku mengambil waktu istirahat untuk menelepon Om Danu.

"Om Danu, apa kabar?"

Terdengar kasak kusuk di seberang sana begitu telepon tersambung.

"Hai Lily, baik baik. Ada apa?"

"Om lagi di mana?" Tanyaku.

"Lagi di lokasi proyek. Ada masalah?" Om Danu balik bertanya.

"Proyek yang mana Om?"

Di seberang sana, Om Danu meladeni ucapan seseorang. Aku menunggu sambil memainkan daun kaktus yang menghiasi meja kerjaku.

"Sorry, Ly. Om lagi ribet di lokasi. Ini proyek gedung di Serang. Proyek besar kita."

Aku tahu, seharusnya aku langsung bekerja di perusahaan Papa begitu selesai kuliah. Namun, aku butuh pengalaman lain. Di saat yang sama, aku mendapat informasi ada lowongan sekretaris untuk Pak Rudy. Hanya sementara, tiga bulan saja. Menurutku itu cukup. Jadi aku melamar pekerjaan ini dan meminta waktu ke Om Danu agar aku diberi waktu lebih.

Om Danu tidak keberatan. Namun bukan berarti aku lepas tanggung jawab begitu saja. Aku meminta Om Danu untuk memberikan update.

Baru sekarang kusadari Om Danu tidak memberikan laporan apa-apa. Bahkan sebatas memberi tahu proyek yang sedang dijalani pun tidak.

"Om kan udah janji mau ngasih update ke aku." Aku memperingatkannya.

"Ly, kamu terima beres aja. Ini kerjaan Om," elaknya.

"Itu perusahaan Papa. Papa menurunkan perusahaan itu buatku, jadi nanti aku akan kerja di sana. Aku berhak tahu apa yang terjadi di sana," balasku.

"Semuanya baik-baik saja."

Jawaban Om Danu tidak nyambung dengan pertanyaanku. Jawaban itu juga menghadirkan kekhawatiran di dalam hatiku.

Baru kusadari kalau aku terlalu abai dan percaya pada Om Danu atas satu-satunya peninggalan Papa.

Papa pernah bilang, bisnis bisa sangat kejam. Tidak mengenal rekan, bahkan saudara. Papa memperingatkanku bahwa di saat-saat tertentu tidak ada salahnya bersikap keras.

Aku tidak tahu dari mana kecurigaan itu tumbuh. Namun kupastikan, aku tidak akan abai lagi.

"Meeting direksi bulan depan aku datang," tegasku.

Om Danu akan protes, tapi aku memutus telepon. Keringat dingin membasahi punggungku. Bagaimana kalau kerja keras Papa selama ini jadi sia-sia? Papa menaruh kepercayaan besar untukku, dan aku malah menghancurkan kepercayaan itu.

Begitu panggilan telepon tersebut berakhir, aku kembali dihadapkan pada pekerjaanku saat ini. Pak Hasan, tamu yang ditunggu Pak Rudy, sudah datang.

Aku membawanya ke ruangan Pak Rudy, sebelum berbalik menuju pantry. Sebenarnya aku bisa meminta bantuan office girl untuk membuatkan minuman, tapi saat ini aku butuh menyibukkan kedua tanganku agar pikiranku tidak semakin kalut dengan kecurigaan yang mendadak hadir.

Aku membuka pintu ruangan Pak Rudy dengan pundak karena tanganku membawa nampan.

"Om masih lihat ada potensi di Mahakarya."

Hampir saja nampan berisi kopi itu jatuh ke lantai. Pak Hasan tengah membicarakan perusahaanku?

Obrolan mereka terhenti saat menyadari kehadiranku. Aku memasang wajah datar dan senyum profesional saat meletakkan cangkir di meja.

Aku sengaja berlama-lama, berharap bisa mencuri dengar. Namun pembahasan mereka sudah berubah.

Sepanjang sisa hari, aku tidak bisa mengenyahkan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang terjadi di perusahaanku dan aku tidak tahu apa-apa.

Istri Simpanan BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang