Aku terbangun sendiri di tempat tidur besar itu. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Pak Rudy di dekatku. Namun, aku yakin semalam bukan mimpi karena ini bukan kamarku. Ini kamar Pak Rudy.
Aku meregangkan tubuh. Meski hanya tidur beberapa jam, tubuhku terasa santai. Aku memandang sekeliling, tidak menemukan handphone-ku. Pasti aku tidak membawanya semalam.
Secarik kertas di atas bantal yang semalam dipakai Pak Rudy menyita perhatianku. Di atasnya, ada tulisan tangan Pak Rudy yang berantakan.
“Kunci kamarmu ada di nakas. Kita ketemu di lokasi proyek.”
Mataku terbelalak. Refleks, aku bangkit duduk. Mataku nyaris keluar dari rongga saat melihat jam di atas nakas. Hampir pukul dua belas siang. Aku benar-benar kesiangan. Pantas Pak Rudy tidak ada, karena hari ini dia meninjau lokasi proyek sebelum nanti sore bertolak kembali ke Jakarta.
Aku buru-buru mengambil kunci dan berlari ke kamar. Tanpa buang waktu, aku langsung mandi. Aku sempat melihat handphone-ku di atas nakas, dalam keadaan di-charge. Semalam aku lupa mencabutnya karena sudah tidak sabar ingin bertemu Pak Rudy.
Tidak butuh waktu lama untuk mandi. Aku bahkan tidak membuang waktu untuk memakai makeup, cukup sunscreen karena matahari Bintan yang menyorot tajam sehingga aku harus melindungi kulitku. Setelahnya, aku menyimpan baju dan barang-barangku secara asal ke dalam koper. Aku sampai menduduki koper agar ritsletingnya bisa dipasang, karena koper itu membludak akibat packing yang asal-asalan.
Setelah tidak ada yang tersisa, aku menuju kamar Pak Rudy. Kopernya sudah dalam keadaan rapi dan siap angkut. Aku mengambilnya dan menuju resepsionis untuk check out. Aku menitipkan koperku dan koper Pak Rudy di sana, lalu memesan taksi yang membawaku ke lokasi proyek.
Aku melintasi tanah kosong menuju Pak Rudy yang ada di seberang. Dia tidak sendiri, bersamanya ada Pak Yatno, kontraktor lokal yang bekerjasama dengannya untuk proyek ini. Untung aku memakai sneakers, sehingga bisa berlari dengan nyaman.
Pak Rudy tersenyum menyambutku begitu aku sampai di dekatnya dengan napas terengah-engah. Sebagai sekretaris, harusnya aku yang mengurus keperluannya. Namun hari ini aku malah kesiangan.
“Pak, maaf. Aku…”
“It’s okay. Kamu baik-baik aja?”
Aku mengangguk. Sejak semalam, berapa kali dia menanyakan hal yang sama?
“Biasanya perempuan suka kesakitan kalau sedang menstruasi. Makanya saya enggak tega membangunkanmu. Kalau kamu butuh waktu buat istirahat, bilang aja,” timpalnya.
Aku terpaku di tempat. Bagi sebagian orang, perhatian itu mungkin tidak ada apa-apanya. Namun, aku seringkali berhadapan dengan laki-laki insecure yang seringkali menganggap remeh sakit saat menstruasi. Padahal yang dilakukan Pak Rudy adalah tindakan standar yang seharusnya dimiliki semua laki-laki. Namun perhatian itu terasa spesial, mengingat di sekitarku sangat sedikit laki-laki yang peduli akan hal ini.
“I’m fine. Kebetulan aku jarang kesakitan saat menstruasi,” balasku.
Pak Rudy tersenyum. “Jangan paksain diri.”
Aku mengangguk. Pak Rudy sudah kembali bicara dengan Pak Yanto, sementara aku masih saja sibuk menenangkan debaran jantungku. Seharusnya aku menyimak pembicaraan Pak Rudy dan Pak Yanto, membuat catatan yang dibutuhkan, tapi yang kulakukan malah sebaliknya. Aku sibuk meneliti tubuh Pak Rudy.
Siang ini dia tampak kasual dengan celana jeans biru dan polo shirt berwarna navy. Pak Rudy memakai sunglassesuntuk melindungi matanya dari sinar matahari. Meski gayanya sederhana, tapi terlihat seksi. Karena Pak Rudy, aku bisa melihat beberapa variasi seksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Boss
RomanceLily bekerja sebagai sekretaris pengganti untuk Rudy Wiranegara, CEO Abdi Construction. Diam-diam, Lily menyukai Rudy. Masalahnya, Rudy yang berusia 42 tahun terlalu tua untuk Lily yang akan berulang tahun ke21. Dan juga posisinya sebagai atasan Lil...